Rabu, 31 Agustus 2011

Akibat Perbuatan Ghuluw dan Bid'ah

Al Faqih


(Oleh: Syeikh Muhammad Nashiruddin al-Albanirahimahullah*)
hadits
"Sesungguhnya sekelompok orang akan membaca al-Qur’an,
(tetapi) tidak melewati tenggorokan mereka,
mereka menembus dan keluar dari Islam
sebagaimana anak panah menembus
dan keluar dari binatang buruan yang dipanah."


Hadits di atas dikeluarkan oleh ad-Darimi (I/68-69) dan Bahsyal di dalam Tarikh Wasith (hal:198-tahqiq ‘Awwad) dari dua jalan dari ‘Umar bin Yahya bin ‘Amr bin Salamah al-Hamdani yang berkata:
“Bapakku telah bercerita kepadaku”, dia berkata:
“Bapakku telah bercerita kepadaku”, dia berkata:
“Kami sedang duduk di depan pintu ‘Abdullah bin Mas’ud sebelum shalat subuh, apabila dia telah keluar kami akan berjalan bersamanya menuju masjid. Kemudian Abu Musa al-Asy’ari datang kepada kami, lalu dia berkata:
“Apakah Abu ‘Abdurrahman (‘Abdullah bin Mas’ud -pent) telah keluar kepada kamu?”
Kami menjawab:
“Belum”.
Maka diapun duduk bersama kami sampai ‘Abdullah bin Mas’ud keluar. Tatkala dia telah keluar, kami semua berdiri ke arahnya, kemudian Abu Musa berkata kepadanya:
“Wahai Abu ‘Abdurrahman, sesungguhnya tadi di masjid aku telah melihat suatu perkara yang aku mengingkarinya, tetapi aku tidak berpendapat -alhamdulillah- kecuali kebaikan.”
‘Abdullah bin Mas’ud bertanya:
“Apa itu?”.
Abu Musa menjawab:
“Jika engkau berumur panjang, maka engkau akan melihatnya.”
Abu Musa berkata lagi:
“Di masjid aku telah melihat sekelompok orang dalam keadaan duduk berhalqah-halqah (berkelompok-kelompok, setiap kelompok duduk melingkar), mereka menantikan shalat. Pada setiap halqah (kelompok yang duduk melingkar) ada seorang laki-laki. Dan di tangan mereka ada batu-batu kerikil, kemudian laki-laki tadi berkata: “Bertakbirlah seratus kali!”, maka merekapun bertakbir seratus kali. Kemudian laki-laki tadi berkata lagi: “Bertahlillah seratus kali!”, maka merekapun bertahlil seratus kali. Kemudian laki-laki tadi berkata lagi: “Bertasbihlah seratus kali!”, maka merekapun bertasbih seratus kali."
‘Abdullah bin Mas’ud bertanya:
“Kemudian apa yang telah engkau katakan kepada mereka?”.
Abu Musa menjawab:
“Aku tidak mengatakan kepada mereka sesuatupun karena menanti pendapatmu.”
‘Abdullah bin Mas’ud berkata:
“Apakah engkau tidak memerintahkan mereka untuk menghitung kesalahan-kesalahan mereka, dan engkau memberikan jaminan untuk mereka bahwa kebaikan-kebaikan mereka tidak akan disia-siakan sedikitpun?”.
Kemudian ‘Abdullah bin Mas’ud berjalan, dan kamipun berjalan bersamanya. Sampai dia mendatangi satu halqah di antara halqah-halqah itu dan melihat mereka, lalu berkata:
“Apakah ini, yang aku melihat kamu sedang melakukannya?”
Mereka menjawab:
“Wahai Abu ‘Abdurrahman, (ini adalah) batu-batu kerikil yang dengannya kami menghitung takbir, tahlil dan tasbih”.
‘Abdullah bin Mas’ud berkata:
“Hitung saja kesalahan-kesalahanmu, aku menjamin bahwa kebaikan-kebaikanmu tidak akan disia-siakan sedikitpun. Kasihan kamu hai umat Muhammad! alangkah cepatnya kebinasaanmu! Mereka ini, para sahabat Nabi masih banyak, dan pakaian-pakaian beliau belum usang, dan bejana-bejana beliau belum retak. Demi (Allâh) Yang jiwaku di tangan-Nya, sesungguhnya kamu berada di atas satu agama yang lebih benar daripada agama Muhammad, atau kamu orang-orang yang membuka pintu kesesatan?!”.
Mereka menjawab:
“Demi Allah hai Abu ‘Abdurrahman! kami tidak menghendaki kecuali kebaikan”.
‘Abdullah bin Mas’ud berkata:
“Alangkah banyaknya orang yang menghendaki kebaikan (tetapi) tidak mendapatkannya. Sesungguhnya Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam telah menceritakan kepada kami: (kemudian dia menyebutkan hadits di atas). Demi Allah aku tidak tahu, kemungkinan kebanyakan mereka adalah dari kamu!”.
Kemudian dia berpaling dari mereka.

‘Amr bin Salamah berkata:
“Kemudian kami melihat kebanyakan orang-orang pada halqah-halqah itu bersama Khawarij memerangi kami pada peperangan Nahrawan.”
Aku (Syeikh al-Albani rahimahullâh) berkata:
“Rangkaian (nash) tersebut adalah menurut riwayat ad-Darimi dan itu yang lebih lengkap, tetapi di dalam matan hadits (teks hadits) tidak ada kalimat:
hadits
mereka menembus dan keluar dari Islam
sebagaimana anak panah menembus
dan keluar dari binatang buruan yang dipanah

Dan ini isnadnya shahih, tetapi perkataan “‘Umar bin Yahya” aku menyangka merupakan kesalahan dari para penyalin yang menulis naskah. Yang benar adalah “‘Amr bin Yahya”, dia adalah ‘Amr bin Yahya bin ‘Amr bin Salamah bin al-Harits al-Hamdani.[1]
Demikian dibawakan oleh Ibnu Abi Hatim di dalam kitabnya al-Jarh wat-Ta’dil (III/1/269), dan dia menyebutkan sekelompok orang-orang terpercaya di kalangan para perawi yang meriwayatkan dari ‘Amr bin Yahya, di antara mereka adalah Ibnu ‘Uyainah. Dan dia meriwayatkan dari Ibnu Ma’in yang berkata tentang ‘Amr bin Yahya: “Shalih”.
Dan demikian pula Ibnu Abi Hatim menyebutkan dengan benar di kalangan para perawi dari bapaknya, dia berkata (di dalam III/2/176):
“Yahya bin ‘Amr bin Salamah al-Hamdani, ada yang mengatakan al-Kindi. Dia meriwayatkan dari bapaknya, (perawi) yang meriwayatkan darinya adalah Syu’bah, ats-Tsauri, al-Mas’udi, Qais bin ar-Rabi’ dan anaknya (yaitu) ‘Amr bin Yahya.”
Tetapi Ibnu Abi Hatim tidak menyebutkan celaan dan pujian, tetapi pujian terhadapnya cukup dengan periwayatan Syu’bah darinya, karena sesungguhnya Syu’bah menyaring orang-orang yang dia meriwayatkan dari mereka, sebagaimana hal itu disebutkan di dalam biografinya. Dan kemungkinan dia disebutkan di dalam kitab ats-Tsiqat (orang-orang terpercaya) karya Ibnu Hibban, karena al-’Ajali juga telah memasukkannya di dalam kitab Tsiqatnya dan berkata:
“Seorang dari Kufah, terpercaya”.
Adapun ‘Amr bin Salamah, maka dia seorang yang terpercaya, biografinya ada di dalam kitab at-Tahdzib, dinyatakan terpercaya oleh Ibnu Sa’d dan Ibnu Hibban (V/172), tetapi terlewatkan darinya bahwa al-’Ajali berkata di dalam kitab Tsiqatnya (364/1263):
“Seorang dari Kufah, seorang Tabi’i, terpercaya”.
Aku dahulu menyebutkan di dalam (kitabku) ar-Radd ‘alasy Syeikh al-Habasyi hal:45 bahwa Tabi’in dalam kisah ini adalah ‘Ammarah bin Abi Hasan al-Mazini, tetapi itu kekeliruan yang tidak perlu dijelaskan sebabnya, maka hendaklah itu dibenarkan. Dan hadits ini mempunyai jalan lain dari Ibnu Mas’ud di dalam kitab Musnad (I/404), di dalamnya ada tambahan, dan isnadnya bagus. Dan telah datang pula di dalam hadits sekelompok sahabat yang diriwayatkan oleh Muslim di dalam Shahihnya (III/109-117).
Aku memberikan perhatian dengan mentakhrij (menyebutkan Ahli Hadits yang meriwayatkan) dari jalan ini hanyalah karena ada kisah Ibnu Mas’ud dengan orang-orang yang mengadakan halqah-halqah. Karena sesungguhnya di dalam kisah itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang selalu mengamalkan thariqah-thariqah dan halqah-halqah dzikir yang menyelisihi sunnah.
Karena sesungguhnya apabila yang ada pada mereka itu diingkari oleh orang yang mengingkari, mereka akan menuduhnya telah mengingkari dzikir dari dasarnya! Padahal mengingkari dzikir dari dasarnya adalah suatu kekafiran yang seorang muslim tidak akan terjatuh ke dalamnya (tidak mungkin melakukannya -pent) di dunia ini.
Padahal yang diingkari hanyalah apa-apa yang ditambahkan pada dzikir yang berupa tata-cara dan perkumpulan-perkumpulan yang tidak disyari’atkan di zaman Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam. Kalau bukan itu maka apakah yang diingkari oleh Ibnu Mas'ud radhiyallâhu'anhu terhadap orang- orang di halqah-halqah itu? Tidak lain kecuali bentuk berkumpul pada hari tertentu dan dzikir dengan jumlah yang tidak ada (dalilnya), tetapi hal itu semata-mata batasan yang dibuat oleh Syeikh yang mengadakan halqah, dan hal itu dia perintahkan kepada mereka dari dirinya sendiri, seolah-olah dia adalah pembuat syari’at dari Allâh Ta’ala! (Padahal Allâh berfirman:-pent)
hadits
Apakah mereka mempunyai sesembahan-sesembahan selain Allâh
yang mensyari’atkan agama untuk mereka yang tidak diizinkan oleh Allâh?
(Qs. Asy-Syurâ/26: 21)

Selain itu terlebih lagi bahwa sunnah yang pasti/shahih dari beliau shallallâhu 'alaihi wasallam yang berupa perbuatan dan perkataan, tasbih itu hanyalah dengan ujung-ujung jari, sebagaimana hal itu telah diterangkan di dalam kitab ar-Radd ‘ala al-Habasyi dan lainnya.
Dan di antara faedah-faedah yang bisa diambil dari hadits dan kisah ini adalah bahwa yang prinsip bukanlah banyaknya ibadah, tetapi adalah ibadah itu haruslah di atas (sesuai dengan) sunnah, jauh dari bid’ah. Dan hal itu juga telah diisyaratkan juga oleh Ibnu Mas'ud radhiyallâhu'anhu dengan perkataannya:
perkataan ibnu mas'ud
Sederhana di dalam sunnah lebih baik daripada
bersungguh-sungguh di dalam bid’ah.

Dan di antaranya (faedah-faedah itu) adalah bahwa bid’ah yang kecil menghantarkan kepada bid’ah yang besar. Tidakkah engkau lihat bahwa orang-orang yang mengikuti halqah-halqah itu kemudian mereka menjadi bagian (firqah) Khawarij yang diperangi oleh Khalifah ar-Rasyid (Khalifah yang lurus) Ali bin Abi Thalib? Maka adakah orang yang mengambil pelajaran?!

Aku (Syeikh Salim al-Hilali) berkata:
Atsar (riwayat) yang agung ini memuat prinsip-prinsip yang besar, yang hal itu tidak diketahui kecuali oleh orang-orang yang berittiba’, yaitu orang-orang yang tidak mendahului Allâh dan Rasul-Nya, dan ucapan mereka adalah sami’na wa atha’na (kami mendengar dan taat).
1. Allâh yang telah men syari’atkan tujuan tidak melupakan sarana.

Tatkala Allâh mensyari’at kan dzikir, Dia tidak melupakan sarananya. Sesungguhnya kebiasaan Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam menghitung tasbih dengan tangan kanannya, dan beliau bersabda bahwa sesungguhnya tangan-tangan itu akan diminta untuk berbicara.
2. Bid’ah idhafiyah adalah sesat.

Yaitu bid’ah yang bersandar pada dalil dari sisi asal, tetapi tidak bersandar (pada dalil) dari sisi kaif/kaifiyah (keadaan; cara) dan shifat (bentuk; sifat; keterangan; tanda), sehingga dinamakan idhafiyah karena tidak murni pada salah satu dari dua sisi: penyelisihan yang nyata atau kesesuaian yang benar.
Orang-orang tersebut tidak mengucapkan kekafiran, dan tidak melakukan perbuatan yang asing, bahkan mereka berdzikir kepada Allâh yang hal itu perkara yang disyari’atkan berdasarkan nash. Tetapi mereka menyelisihi kaifiyah dan shifat yang telah dijalani oleh Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam , sehingga para sahabat mengingkari mereka dan memerintahkan supaya mereka menghitung kesalahan-kesalahan mereka.
3.
Allâh Ta'âla tidak diibadahi kecuali dengan apa yang telah Dia syari’atkan, tidak diibadahi dengan hawa-nafsu, kebiasaan dan bid’ah.
4. Bid’ah mematikan sunnah

Sekelompok orang dari mubtadi’in (Ahli Bid’ah) itu menciptakan shifat dzikir yang tidak diriwayatkan dari Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam sehingga mereka mematikan petunjuk Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam. Prinsip ini telah difahami oleh Salafush Shalih, dan mereka mengetahui secara yakin bahwa sunnah dan bid’ah tidak akan berkumpul. Seorang Tabi’in yang agung (yaitu) Hasan bin ‘Athiyah rahimahullâh berkata:
perkataan Hasan bin ‘Athiyah
Tidaklah suatu kaum membuat bid’ah di dalam agama mereka,
kecuali dicabut dari sunnah mereka yang semisal dengannya”.
(Riwayat ad-Darimi dengan sanad yang shahih)

5.
Bid’ah adalah penyebab kebinasaan, karena ia menyeret untuk meninggalkan sunnah dan yang demikian adalah kesesatan yang jauh.
Seorang sahabat (yaitu) ‘Abdulah bin Mas’ud radhiyallâhu'anhu berkata:
perkataan ‘Abdulah bin Mas’ud
Seandainya kamu meninggalkan sunnah Nabimu,
pastilah kamu sesat.
(Diriwayatkan oleh Imam Muslim)

Dan apabila umat telah sesat niscaya ia binasa karenanya. Oleh karena itulah ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallâhu'anhu berkata kepada halqah-halqah itu:
perkataan ‘Abdullah bin Mas’ud
Hai umat Muhammad,
alangkah cepatnya kebinasaan kamu.

Pemahaman ‘Abdullah bin Mas’ud ini mempunyai pelajaran yang khusus yang nampak dari rangkaian riwayat, (dimana) Abu Musa al-Asy’ari radhiyallâhu'anhu tidak mengingkari mereka karena menunggu pendapat atau perintah ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallâhu'anhu.
Tetapi sikap Ibnu Ummu ‘Abd (‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallâhu'anhu) tersebut bukanlah pilih kasih atau basa-basi, bahkan ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallâhu'anhu ridha untuk dirinya terhadap apa yang hal itu diridhai oleh Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam untuk diri beliau dan untuk umatnya.
Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda:
hadits
"Aku ridha untuk umatku
apa yang telah diridhai oleh Ibnu Ummu ‘Abd
(‘Abdullah bin Mas’ud)."
(HR. al-Hakim dan lainnya dan dishahihkan oleh al-Albani
di dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah no:1225,
ad-Darus Salafiyah-Kuwait)
6. Bid’ah menghantarkan kepada kekafiran.
Karena seorang mubtadi’ (Ahli Bid’ah) mengangkat dirinya sebagai pembuat syari’at dan tandingan bagi Allâh, sehingga dia mengkoreksi terhadap Ahkamul Hakimin (Allâh), dan dia menyangka bahwa dia berada di atas satu agama yang lebih benar daripada agama Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam.
7.
Bid’ah membuka dua daun pintu perselisihan.
Dan itu adalah pintu kesesatan. Barangsiapa yang membuat sunnah (tata-cara/jalan/kebiasaan) yang buruk di dalam Islam maka dia mendapatkan dosanya dan dosa orang yang mengamalkannya sampai hari kiamat, tidak mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun. Karena orang yang menunjukkan kepada keburukan sekedudukan dengan pelakunya.
8.
Menganggap kecil urusan bid’ah akan menyeret kepada kefasikan dan kemaksiatan.
Tidakkah engkau lihat rombongan itu terjerumus ke dalam barisan Khawarij pada peperangan Nahrawan, mereka memerangi para sahabat radhiyallâhu'anhum yang dipimpin oleh Ali radhiyallâhu'anhu, dan beliau berhasil menghancurkan mereka ke akar-akarnya pada peperangan itu.
Salah seorang ulama’ muslimin yang utama yaitu al-Hasan bin ‘Ali al-Barbahari (termasuk di antara pengikut imam Ahlu Sunnah Ahmad bin Hambal rahimahullâh) berkata:
“Berhati-hatilah engkau dari perkara-perkara kecil yang baru (dalam agama), karena sesungguhnya bid’ah-bid’ah yang kecil akan berulang sampai menjadi besar. Demikian pula setiap bid’ah yang diada--adakan di umat ini, dahulu permulaannya kecil, yang menyerupai kebenaran sehingga orang yang masuk ke dalamnya terpedaya dengan nya, kemudian dia tidak mampu untuk keluar darinya. Sehingga bid’ah itu menjadi besar, dan menjadi agama yang dianut. Maka dia (orang yang masuk tersebut) menyelisihi jalan yang lurus kemudian keluar dari Islam.
Maka perhatikan -mudah-mudahan engkau dirahmati Allâh- setiap orang yang engkau dengar perkataannya dari orang-orang di zamanmu khususnya. Janganlah engkau terburu-buru dan janganlah engkau memasuki sesuatu darinya sampai engkau bertanya dan melihat: apakah ada seseorang dari kalangan sahabat Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam atau salah seorang dari para ulama’ yang membicarakannya?
Jika dalam hal itu engkau mendapati riwayat dari mereka (para sahabat Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam), maka pegangilah dan janganlah engkau meninggalkannya karena sesuatu, dan janganlah engkau memilih sesuatu yang lain yang mengakibatkan engkau terjerumus ke dalam neraka.” (Thabaqat al-Hanabilah, al-Qadhi Muhammad bin Abu Ya’la II/18-19, Darul Ma’rifah Beirut).
9.
Amalan-amalan yang shalih (tergantung) dengan niat yang shalih.
Dan niat yang baik tidak akan menjadikan yang batil manjadi haq, karena niat semata tidak cukup untuk menjadikan perbuatan menjadi benar. Tetapi niat yang baik haruslah ditambah dengan mengikuti syari’at.[2]
10.
Apa yang ditambahkan pada suatu kebaikan bukanlah kebaikan.
Karena sesungguhnya apa yang ditambahkan pada suatu kebaikan adalah keburukan. Perkara ini bisa disaksikan dalam segala hal, karena sesungguhnya suatu perkara itu apabila melebihi batasnya, ia akan berubah menjadi kebalikannya.
Keberanian apabila melebihi batasnya akan menjadi serampangan, apabila berkurang akan menjadi pengecut. Kedermawanan apabila melebihi batasnya akan menjadi boros, apabila berkurang akan menjadi bakhil dan pelit. Kalau begitu, maka sebaik-baik urusan adalah tengah-tengahnya.
‘Abdullah bin Mas’ud bukanlah sahabat yang pertama kali mengingkari bid’ah-bid’ah. ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallâhu'anhu termasuk sahabat yang keras mengingkari bid’ah-bid’ah dan meng-hajr (memboikot) para Ahli Bid’ah. Suatu ketika ‘Abdullah bin Umar mendengar seorang laki-laki bersin kemudian dia mengucapkan “alhamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah”, maka ‘Abdullah bin Umar berkata kepadanya:
“Tidak begitu Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam telah mengajari kami, tetapi beliau bersabda:
hadits
Apabila salah seorang dari kalian bersin,
maka hendaklah dia memuji Allâh (mengucap kan al-hamdulillah)
Dan beliau tidak bersabda:
“dan hendaklah dia mengucapkan shalawat untuk Rasulullah”.
(HR. at-Tirmidzi dan al-Hakim)

Dari Salim yang berkata:
“Sesungguhnya aku sedang duduk bersama Ibnu Umar radhiyallâhu'anhu di dalam masjid, tiba-tiba datang kepadanya seorang laki-laki dari penduduk Syam. Kemudian laki-laki tadi bertanya kepadanya tentang bertamattu’ menjalankan ‘umrah sampai haji? (Yaitu berniat melakukan umrah dengan cara thawaf lalu sa’i kemudian tahallul. Dari sini dia bebas dari larangan-larangan haji. Kemudian pada tanggal 8 dzulhijjah dia berniat untuk hajji lalu pergi ke Arafah).
Maka Ibnu ‘Umar berkata:
“Bagus, baik”.
Kemudian laki-laki tersebut berkata:
“Tetapi jika bapakmu melarangnya”.
Maka Ibnu ‘Umar berkata:
“Celaka engkau, walaupun bapakku telah melarangnya, tetapi Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam telah melakukannya dan memerintahkannya. Maka engkau akan mengambil perkataan bapakku atau perintah Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam ?!”.
Dia menjawab:
“Perintah Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam “.
Kemudian Ibnu ‘Umar berkata:
“Pergilah dariku.”
(Diriwayatkan oleh ath-Thahawi di dalam Syarh Ma’ani al-Atsar dengan sanad yang shahih)
*) Terjemahan tulisan dari Syeikh Salim bin ‘Ied al-Hilali hafizhahullah ini merupakan sambungan dari dari artikel yang berjudul Akibat Perbuatan Ghuluw dan Bid'ah terjemahan dari tulisan Syeikh al-Albani rahimahullâh. Dalam tulisan ini dijelaskan tentang faedah-faedah hadits dari kitab beliau al-Bid’ah wa Atsaruha as-Sayyi’ fil Ummah hal:15-20. Syeikh Salim bin ‘Ied al-Hilali hafizhahullah adalah murid Syeikh al-Albani rahimahullâh.



*)Diterjemahkan oleh Abu Isma’il Muslim al-Atsari dari Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah V/11-14, hadits no:2005
[1] Dahulu aku menyangka dia adalah ‘Amr bin ‘Ammarah bin Abi Hasan al- Mazini, tetapi kemudian menjadi jelas bagiku bahwa itu adalah kesalahan yang aku telah ruju’ darinya
[2] Lihat Madarijus Salikin, Ibnul Qayyim al-Jauziyah I/85, Darul Kitab al-’Arabi-Beirut

Tidak ada komentar:

Posting Komentar