Selasa, 01 Mei 2012

LARANGAN TERHADAP KUBURAN


Alfaqih Warsono





No hadits : 498 HR Muslim
عن أبي هريرة ر.ع. قال: قال رسول الله صلعم "لأَنْ يَجْلِسَ أحَدُكُمْ عَلَى جَمْرَةٍ فَتُحْرِقَ ثِيَابَهُ فَتَخْلُصَ إلَى جِلْدِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أنْ يَجْلِسَ عَلَى قَبْرٍ"

Terjemahan Indonesia :
Dari Abi Hurairah ra. berkata:  Rasulullah SAW bersabda: sekiranya salah seorang dari kalian duduk di atas bara api kemudian pakaiannya terbakar sampai mengenai kulitnya, adalah lebih baik baginya daripada duduk di atas kuburan.

No hadits : 499 HR Muslim
عن أبي مَرْثَدٍ الغَنَوِيِّّ ر.ع. قال: قال رسول الله صلعم "لاَتَجْلِسُوْا عَلَى الْقُبُوْرِ وَلاَ تُصَلُّوْا إِلَيْهَا.
Terjemahan Indonesia :
Dari Abi Martsad al Ghanawy ra berkata : Rasulullah SAW bersabda: janganlah kalian duduk di atas kuburan dan jangan pula kalian shalat kepadanya.


Hadits di atas disedbut dan dinukil dari Mukhtashar Shahih Muslim yang ditulis oleh AlHafidz Zakiyuddin Abdul Adhim ibnu Abdul Qawy al Mundziry (Imam Al Mundziry), cetakan Dar al hadits, Al Qahirah (2003). Kedua hadits di atas (No. 498 dan 499) dikelompokkan dalam bab ke-47, “Al julus ala al qubur wa al shalat alaiha” halaman : 156.

Penjelasan:

Kedua hadits di atas memberi pengertian kepada kita bahwa kita (umat Islam) dilarang : (1) duduk di atas kuburan, dan (2) sholat kepadanya.

Larangan tersebut memberi isyarat bahwa duduk di atas kuburan adalah sebuah bentuk penghinaan kepada ahli qubur, merendahkan, dan tidak tahu bersikap yang baik kepada ahli qubur. Ahli qubur, selepas ditinggalkan oleh para pengiring ketika dimakamkan, akan dibangunkan untuk menerima nikmat kubur atau siksa kubur sambil menunggu datangnya hari kiamat. Mereka mampu mendengar ucapan salam peziarah meskipun mereka tidak mampu menjawab salam seperti manusia yang hidup di dunia.

Sedangkan sholat kepadanya atau ke arahnya merupakan bentuk ibadah penyembahan atau disamarkan menyembah kepadanya (kuburan) yang tidak sanggup memberi manfaat atau mudharat kepada kita. Ini adalah bentuk kemusyrikan. Kita hanya diperintah untuk menyembah Allah dengan ikhlash. Lihat firman Allah dalam QS Al Bayyinah [98]: 5:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاء وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta`atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.

Dengan kata lain penghuni quburan harus dihormati sebagai mereka masih hidup, diberi salam sebagaimana mereka masih hidup, didoakan terutama oleh keluarganya agar diampuni dosanya, namun tidak boleh didewakan, disakralkan, diquduskan (disucikan), diberi sesajen (makanan), dimintai doa padahal mereka tidak sanggup memberi apa-apa.
Allah berfirman :
قُلْ مَن رَّبُّ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ قُلِ اللّهُ قُلْ أَفَاتَّخَذْتُم مِّن دُونِهِ أَوْلِيَاء لاَ يَمْلِكُونَ لِأَنفُسِهِمْ نَفْعاً وَلاَ ضَرّاً قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الأَعْمَى وَالْبَصِيرُ أَمْ هَلْ تَسْتَوِي الظُّلُمَاتُ وَالنُّورُ أَمْ جَعَلُواْ لِلّهِ شُرَكَاء خَلَقُواْ كَخَلْقِهِ فَتَشَابَهَ الْخَلْقُ عَلَيْهِمْ قُلِ اللّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ
Katakanlah: "Siapakah Tuhan langit dan bumi?" Jawabnya: "Allah." Katakanlah: "Maka patutkah kamu mengambil pelindung-pelindungmu dari selain Allah, padahal mereka tidak menguasai kemanfaatan dan tidak (pula) kemudharatan bagi diri mereka sendiri?". Katakanlah: "Adakah sama orang buta dan yang dapat melihat, atau samakah gelap gulita dan terang benderang; apakah mereka menjadikan beberapa sekutu bagi Allah yang dapat menciptakan seperti ciptaan-Nya sehingga kedua ciptaan itu serupa menurut pandangan mereka?" Katakanlah: "Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan Dia-lah Tuhan Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa" (QS Ar Ra’d [13]: 16)


Rabu, 31 Agustus 2011

Golongan yang Masuk Surga Tanpa Hisab Dan Adzab[1]

Al Faqih


عَنْ حُصَيْن بْنِ عَبْدِ الرَّ حْـمَنٍ قَالَ كُنْتُ عِنْدَ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ فَقَالَ أَيُّكُمْ رَأَى الْكَوْكَبَ الَّذِي انْقَضَّ الْبَارِحَةَ قُلْتُ أَنَا ثُـمَّ قُلتُ أَمَا إِنِّـي لَـمْ أَكُنْ فِـي صَلاَةٍ وَلَكِنِّـي لُدِغْتُ قَالَ فَمَاذَا صَنَعْتَ قُلْتُ اسْـتَرْقَيْـتُ قَالَ فَمَا حَمَلَكَ عَلَى ذَلِكَ قُلْتُ حَدِيثٌ حَدَّثَنَاهُ الشَّعْبِـيُّ فَقَالَ وَمَا حَدَّثَكُمُ الشَّعْبِـيُّ قُلْتُ حَدَّثَنَا عَنْ بُرَيْدَةَ بْنِ حُصَيْبٍ اْلأَسْلَمِـيِّ أَنَّهُ قَالَ لاَ رُقْيَةَ إِلاَّ مِنْ عَيْـنٍ أَوْ حُـمَةٍ فَقَالَ قَدْ أَحْسَـنَ مَنِ انْتَهَى إِلَـى مَا سَـمِـعَ وَلَكِنْ حَدَّثَنَا ابْنُ عَبَّاسٍ عَنِ النَّبِـيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ عُرِضَتْ عَلَـيَّ اْلأُمَـمُ فَرَأَيْتُ النَّبِـيَّ وَ مَعَهُ الرَّهَيْطُ وَ النَّبِـيَّ وَ مَعَهُ الرَّجُلُ وَ الرَّجُلاَنِ وَ النَّبِـيَّ لَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ إِذْ رُفِعَ لِـي سَوَادٌ عَظِيمٌ فَظَنَنْتُ أَنَّهُمْ أُمَّتِـي فَقِيلَ لِـي هَذَا مُوسَـى عَلَيْهِ السَّلاَمَ وَ قَوْمُهُ وَ لَكِنِ انْظُرْ إِلَـى اْلأُفُقِ فَنَظَرْتُ فَإِذَا سَوَادٌ عَظِيمٌ فَقِيلَ لِـي انْظُرْ إِلَـى اْلأُفُقِ اْلآخَرِ فإِذَا سَـوَادٌ عَظِيمٌ فَقِيلَ لِـي هَذِهِ أُمَّتُكَ وَ مَعَهُمْ سَبْعُونَ أَلْفًا يَدْخُلُونَ الْـجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلاَ عَذَابٍ ثُـمَّ نَهَضَ فَدَخَلَ مَنْزِلَهُ فَخَاضَ النَّاسُ فِـي أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْخُلُونَ الْـجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلاَ عَذَابٍ فَقَالَ بَعْضُهُمْ فَلَعَلَّهُمُ الَّذِينَ صَحِبُوا رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَقَالَ بَعْضُهُمْ فَلَعَلَّهُمُ الَّذِينَ وُلِدُوا فِـي اْلإِسْلاَمِ وَ لَـمْ يُشْرِكُوا بِاللهِ وَ ذَكَرُوا أَشْيَاءَ فَـخَرَخَ عَلَيْهِمْ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَقَالَ مَا الَّذِي تَـخُوضُونَ فِـيهِ فَأَخْبَرُوهُ فَقَالَ هُمُ الَّذِينَ لاَ يَرْقُونَ وَلاَ يَسْتَرْقُونَ وَ لاَ يَتَطَيَّرُونَ وَ عَلَى رَبِّـهِمْ يَتَوَكَّلُونَ فَقَامَ عُكَّاشَةُ بْنُ مِـحْصَنٍ فَقَالَ ادْعُ اللهَ أَنْ يَـجْعَلَنِي مِنْهُمْ فَقَالَ أَنْتَ مِنْهُمْ ثُـمَّ قَامَ رَجُلٌ آجَرُ فَقَالَ ادْعُ اللهَ أَنْ يَـجْعَلَنِي مِنْهُمْ فَقَالَ سَبَقَكَ بِـهَا عُكَّاشَةُ
Dari Hushain bin Abdurrahman berkata:
"Ketika saya berada di dekat Sa'id bin Jubair, dia berkata: "Siapakah diantara kalian yang melihat bintang jatuh semalam?"
Saya menjawab:
"Saya.”
Kemudian saya berkata:
"Adapun saya ketika itu tidak dalam keadaan sholat, tetapi terkena sengatan kalajengking."
Lalu ia bertanya:
"Lalu apa yang anda kerjakan?"
Saya menjawab:
"Saya minta diruqyah"
Ia bertanya lagi:
"Apa yang mendorong anda melakukan hal tersebut?"
Jawabku:
"Sebuah hadits yang dituturkan Asy-Sya'bi kepada kami."
Ia bertanya lagi:
"Apakah hadits yang dituturkan oleh Asy-Sya'bi kepada anda?"
Saya katakan:
"Dia menuturkan hadits dari Buraidah bin Hushaib:
'Tidak ada ruqyah kecuali karena 'ain atau terkena sengatan.'."
Sa'id pun berkata:
"Alangkah baiknya orang yang beramal sesuai dengan nash yang telah didengarnya, akan tetapi Ibnu Abbas radhiyallâhu'anhu menuturkan kepada kami hadits dari Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, Beliau bersabda:
'Saya telah diperlihatkan beberapa umat oleh Allâh, lalu saya melihat seorang Nabi bersama beberapa orang, seorang Nabi bersama seorang dan dua orang dan seorang Nabi sendiri, tidak seorangpun menyertainya. Tiba-tiba ditampakkan kepada saya sekelompok orang yang sangat banyak. Lalu saya mengira mereka itu umatku, tetapi disampaikan kepada saya:
"Itu adalah Musa dan kaumnya".
Lalu tiba-tiba saya melihat lagi sejumlah besar orang, dan disampaikan kepada saya:
"Ini adalah umatmu, bersama mereka ada tujuh puluh ribu orang, mereka akan masuk surga tanpa hisab dan adzab.".'
Kemudian Beliau bangkit dan masuk rumah. Orang-orang pun saling berbicara satu dengan yang lainnya,
'Siapakah gerangan mereka itu?'
Ada diantara mereka yang mengatakan:
'Mungkin saja mereka itu sahabat Rasulullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam.'
Ada lagi yang mengatakan:
'Mungkin saja mereka orang-orang yang dilahirkan dalam lingkungan Islam dan tidak pernah berbuat syirik terhadap Allâh.'
dan menyebutkan yang lainnya.
Ketika Rasulullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam keluar, mereka memberitahukan hal tersebut kepada beliau. Beliau bersabda:
'Mereka itu adalah orang yang tidak pernah minta diruqyah, tidak meminta di kay dan tidak pernah melakukan tathayyur serta mereka bertawakkal kepada Rabb mereka.'
Lalu Ukasyah bin Mihshon berdiri dan berkata:
'Mohonkanlah kepada Allâh, mudah-mudahan saya termasuk golongan mereka!'
Beliau menjawab:
'Engkau termasuk mereka'
Kemudian berdirilah seorang yang lain dan berkata:
'Mohonlah kepada Allâh, mudah-mudahan saya termasuk golongan mereka!'
Beliau menjawab:
'Kamu sudah didahului Ukasyah.'."


TAKHRIJ HADIST
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim.

BIOGRAFI SINGKAT RAWI DAN SAHABAT YANG TERDAPAT DALAM HADITS
  1. Hushain bin Abdurrahman, beliau adalah As-Sulami Abu Hudzail Al-Kûfi, seorang yang tsiqah. Wafat pada tahun 136 H pada usia 93 tahun.
  2. Sa'id bin Jubair, beliau adalah seorang imam yang faqih termasuk murid senior Ibnu Abbas radhiyallâhu'anhu. Periwayatannya dari Aisyah radhiyallâhu'anha dan Abu Musa adalah mursal, beliau seorang pemimpin Bani As'ad yang dibunuh oleh Al-Hajâj bin Yusuf ats-Tsaqafiy tahun 95 H dalam usia 50 tahun.
  3. Asy-Sya'bi, beliau bernama Amir bin Surahil al-Hamadani, dilahirkan pada masa kekhalifahan Umar radhiyallâhu'anhu dan termasuk tabi'in terkenal dan ahli fiqih mereka, wafat tahun 103 H.
  4. Buraaidah bin al-Hushaib, beliau adalah Ibnul Harits al-Aslamy, shahabat masyhur, wafat tahun 63 menurut pendapat Ibnu Sa'ad.
  5. Ukasyah bin Mihshon radhiyallâhu'anhu, beliau berasal dari Bani As'ad bin Khuzaimah dan termasuk pendahulu dalam Islam. Beliau hijrah dan menyaksikan perang Badar dan perang-perang lainnya. Beliau mati syahid dalam perang Riddah dibunuh Thulaihah al-Asady tahun 12 H. Kemudian Thulaihah masuk Islam setelah itu, ikut berjihad melawan Persi pada hari Al-Qadisiyah bersama Sa'ad bin Abu Waqash dan mati syahid di Waqi'atûl Jasri'al-Mashurah.


KEDUDUKAN HADITS
Hadits ini menjelaskan beberapa hal, diantaranya :
  • Pentingnya beramal dengan dalil,
  • Penjelasan tidak semua Nabi punya pengikut, dan
  • Penjelasan mengenai golongan yang masuk surga tanpa hisab dan adzab.


KETERANGAN HADITS
  1. Beramal dengan dalil.

    Hushain bin Abdurrahman terkena sengatan kalajengking, lalu meminta ruqyah dalam pengobatannya. Beliau lakukan hal itu bukan tanpa dalil. Beliau berdalil dengan hadits dari Buraidah bin al-Husaib

    "Tidak ada ruqyah kecuali karena ain atau sengatan kalajengking".

  2. Jumlah pengikut Nabi.

    Sa'id mendengar hadits dari Ibnu Abbas radhiyallâhu'anhu, berisi keterangan diperlihatkan kepada Nabi beberapa umat. Beliau melihat seorang nabi beserta pengikutnya yang jumlahnya tidak lebih dari sepuluh. Seorang nabi beserta satu atau dua orang pengikutnya, dan seorang nabi yang tidak memiliki pengikut. Kemudian diperlihatkan kepada beliau sekelompok manusia yang banyak dan ternyata adalah umat Nabi Musa 'alaihissalam. Kemudian baru diperlihatkan umat Beliau sebanyak 70 ribu orang yang masuk surga tanpa hisab dan adzab.

    Hal ini menunjukkan kebenaran itu tidak dilihat dari banyaknya pengikut.

  3. Golongan yang masuk surga tanpa hisab dan adzab.

    Mereka adalah umat Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam yang merealisasikan tauhid. Sebagaimana dalam riwayat Ibnu Fudhail:

    "Dan akan masuk surga diantara mereka 70 ribu orang."

    Demikian juga dalam hadits Abu Hurairah dalam shahihain:

    "Wajah-wajah mereka bersinar seperti sinar bulan pada malam purnama".

    Dalam hal yang sama Imam Ahmad rahimahullâh dan Baihaqi rahimahullâh meriwayatkan hadits Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu dengan lafadz:

    "Maka saya minta tambah (kepada Rabbku), kemudian Allâh memberi saya tambahan setiap seribu orang itu membawa 70 ribu orang lagi".

    Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata mengomentari sanad hadits ini:

    "Sanadnya jayyid (bagus)".

    Mereka itu adalah orang-orang yang:

A. Tidak minta diruqyah.
Demikianlah yang ada dalam shahihain. Juga pada hadits Ibnu Mas'ud radhiyallâhu'anhu dalam musnad Imam Ahmad rahimahullâh. Sedangkan dalam riwayat Imam Muslim (وَلاَ يَرْقُوْنَ ) artinya yang tidak meruqyah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
"Ini merupakan lafadz tambahan dari prasangka rawi dan Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam tidak bersabda (وَلاَ يَرْقُوْنَ ) karena Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam pernah ditanya tentang ruqyah, lalu beliau menjawab:
“Barangsiapa diantara kalian mampu memberi manfaat kepada saudaranya, maka berilah padanya manfaat"

dan bersabda:
"Boleh menggunakan ruqyah selama tidak terjadi kesyirikan padanya."

Ditambah lagi dengan amalan Jibril 'alaihissalam yang meruqyah Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dan Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam meruqyah shahabat-shahabatnya. Beliaupun menjelaskan perbedaan antara orang yang meruqyah dengan orang yang meminta diruqyah:
"Mustarqi (orang yang meminta diruqyah) adalah orang yang minta diobati, dan hatinya sedikit berpaling kepada selain Allâh. Hal ini akan mengurangi nilai tawakkalnya kepada Allâh. Sedangkan arrâqi (orang yang meruqyah) adalah orang yang berbuat baik."

Beliau berkata pula:
"Dan yang dimaksud sifat golongan yang termasuk 70 ribu itu adalah tidak meruqyah karena kesempurnaan tawakkal mereka kepada Allâh dan tidak meminta kepada selain mereka untuk meruqyahnya serta tidak pula minta di kay." Demikian pula hal ini disampaikan Ibnul Qayyim.

B. Tidak Minta di kay (وَلاَ يَكْتَوُوْنَ)
Mereka tidak minta kepada orang lain untuk mengkay sebagaimana mereka tidak minta diruqyah. Mereka menerima qadha' dan menikmati musibah yang menimpa mereka.

Syaikh Abdurrahman bin Hasan Ali Syaikh berkata:
"Sabda Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam (لاَ يَكْتَوُوْنَ) lebih umum dari pada sekedar minta di kay atau melakukannya dengan kemauan mereka.

Sedangkan hukum kay sendiri dalam Islam tidak dilarang, sebagaimana dalam hadits yang shahih dari Jabir bin Abdullah:

Bahwa Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam mengutus seorang tabib kepada Ubay bin Ka'ab, lalu dia memotong uratnya dan meng-kay-nya.

Demikan juga di jelaskan dalam shahih Bukhari dari Anas radhiyallâhu'anhu :

Anas berkata, “Bahwasanya aku mengkay bisul yang ke arah dalam sedangkan Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam masih hidup.”

Dan dalam riwayat dari Tirmidzi dan yang lainnya dari Anas:

Sesungguhnya Nabi mengkay As'ad bin Zurarah karena sengatan kalajengking Juga dalam shahih Bukhari dari Ibnu Abbas secara marfu':

“Pengobatan itu dengan tiga cara yaitu dengan berbekam, minum madu dan kay dengan api dan saya melarang umatku dari kay. (Dalam riwayat yang lain: "Dan saya tidak menyukai kay").

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, "Hadits-hadits tentang kay itu mengandung 4 hal yaitu:
  1. Perbuatan Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Hal itu menunjukkan bolehnya melakukan kay.
  2. Rasulullah tidak menyukainya. Hal itu tidak menunjukkan larangan.
  3. Pujian bagi orang yang meninggalkan. Menunjukkan meninggalkan kay itu lebih utama dan lebih baik.
  4. Larangan melakukan kay. Hal itu menunjukkan jalan pilihan dan makruhnya kay.

C. Tidak Melakukan Tathayyur
Mereka tidak merasa pesimis, tidak merasa bernasib sial atau buruk karena melihat burung atau binatang yang lainnya.

4. Mereka Bertawakal Kepada Allâh

Disebutkan dalam hadits ini, perbuatan dan kebiasaan itu bercabang dari rasa tawakkal dan berlindung serta bersandar hanya kepada Allâh.
Hal tersebut merupakan puncak realisasi tauhid yang membuahkan kedudukan yang mulia berupa mahabbah (rasa cinta), raja' (pengharapan), khauf (takut) dan ridha kepada Allâh sebagai Rabb dan Ilah serta ridha dengan qadha'-Nya.

Ketahuilah makna hadits di atas tidak menunjukkan bahwa mereka tidak mencari sebab sama sekali. Karena mencari sebab (supaya sakitnya sembuh) termasuk fitrah dan sesuatu yang tidak terpisah darinya.

Allâh Ta'ala berfirman:

"Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allâh, maka Allâh akan cukupi segala kebutuhannya."
(Ath-thalaq: 3)

Mereka meninggalkan perkara-perkara (ikhtiyar) makruh walaupun mereka sangat butuh dengan cara bertawakkal kepada Allâh. Seperti kay dan ruqyah, mereka meninggalkan hal itu karena termasuk sebab yang makruh. Apalagi perkara yang haram.

Adapun mencari sebab yang bisa menyembuhkan penyakit dengan cara yang tidak dimakruhkan, maka tidak membuat cacat dalam tawakkal.

Dengan demikian kita tidaklah meninggalkan sebab-sebab yang disyari'atkan, sebagaimana dijelaskan dalam shahihain dari Abu Hurairah radhiAllâhu’anhu secara marfu'.

”Tidaklah Allâh menurunkan suatu penyakit kecuali menurunkan obat untuknya, mengetahui obat itu orang yang mengetahuinya dan tidak tahu obat itu bagi orang yang tidak mengetahuinya.”

Dari Usamah bin Syarik dia berkata: Suatu ketika saya di sisi Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam , datanglah orang Badui dan mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kami saling mengobati?"

Beliau menjawab: "Ya, wahai hamba-hamba Allâh saling mengobatilah, sesungguhnya Ta'ala tidaklah menimpakan sesuatu kecuali Dia telah meletakkan obat baginya, kecuali satu penyakit saja, yaitu pikun.”
(HR. Ahmad)

Berkata Ibnu Qoyyim rahimahullah: Hadits-hadits ini mengandung penetapan sebab dan akibat, dan sebagai pembatal perkataan orang yang mengingkarinya.

Perintah untuk saling mengobati tidak bertentangan dengan tawakkal. Sebagaimana menolak lapar dan haus, panas dan dingin dengan lawan-lawannya (misalnya lapar dengan makan). Itu semua tidak menentang tawakkal. Bahkan tidaklah sempurna hakikat tauhid kecuali dengan mencari sebab yang telah Allâh Ta'ala jadikan sebab dengan qadar dan syar'i. Orang yang menolak sebab itu malah membuat cacat tawakkalnya.

Hakikat tawakal adalah bersandarnya hati kepada Allâh Ta’ala kepada perkara yang bermanfaat bagi hamba untuk diri dan dunianya. Maka bersandarnya hati itu harus diimbangi dengan mencari sebab. Kalau tidak berarti ia menolak hikmah dan syari'at. Maka seseorang hamba tidak boleh menjadikan kelemahannya sebagai tawakkal dan tidaklah tawakkal sebagai kelemahan.

Para ulama berselisih dalam masalah berobat, apakah termasuk mubah, lebih baik ditinggalkan atau mustahab atau wajib dilakukan? Yang masyhur menurut Imam Ahmad adalah pendapat pertama, yaitu mubah dengan dasar hadits ini dan yang semakna dengannya.

Sedangkan pendapat yang menyatakan lebih utama dilakukan adalah madzhab Syafi'i dan jumhur salaf dan khalaf serta al-Wazir Abul Midhfar, Demikian dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam Syarah Muslim. Sedangkan Madzhab Abu Hanifah menguatkan sampai mendekati wajib untuk berobat dan Madzhab Imam Malik menyatakan sama saja antara berobat dan meninggalkannya, sebagaimana disampaikan oleh Imam Malik: "Boleh berobat dan boleh juga meninggalkannya."

Dalam permasalahan ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: "Tidaklah wajib menurut jumhur para imam, sedangkan yang mewajibkan hanyalah sebagian kecil dari murid Imam Syafi'i dan Imam Ahmad.”

5. Kisah 'Ukasyah bin Mihshan 'Ukasyah
'Ukasyah bin Mihshan 'Ukasyah meminta kepada Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam supaya mendo'akannya masuk dalam golongan orang yang masuk surga tanpa hisab dan adzab.

Lalu Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menjawab: "Engkau termasuk dari mereka." Sebagaimana dalam riwayat Bukhari beliau berdo'a: "Ya Allâh jadikanlah dia termasuk mereka."

Dari sini diambil sebagai dalil dibolehkan minta do'a kepada orang yang lebih utama. Kemudian temannya yang tidak disebutkan namanya meminta Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam mendo'akannya pula, tapi Rasullullah SalAllâhu ‘Alaihi Wassalam menjawab: "Engkau telah didahului 'Ukasyah."

Berkata Al-Qurthubi: "Bagi orang yang kedua keadaanya tidak seperti 'Ukasyah, oleh karena itu permintaannya tidak dikabulkan, jika dikabulkan tentu akan membuka pintu orang lain yang hadir untuk minta dido'akan dan perkara itu akan terus berlanjut. Dengan itu beliau menutup pintu tersebut dengan jawabannya yang singkat. Berkata Syaikh Abdirrahman bin Hasan Alu Syaikh: "Didalamnya terdapat penggunaan ungkapan sindiran oleh Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dan keelokkan budi pekerti Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam.”


FAIDAH-FAIDAH HADITS:
  1. Beramal dengan berdasarkan dalil yang ada.
  2. Umat-umat telah ditampakkan kepada Rasulullah Shallallâhu 'Alaihi Wasallam.
  3. Setiap umat dikumpulkan sendiri-sendiri bersama nabinya.
  4. Kebenaran itu tidak dilihat pada banyaknya pengikut tetapi kualitasnya.
  5. Keistimewaan umat Islam dengan kualitas dan kuantitasnya.
  6. Diperbolehkan melakukan ruqyah karena terkena ain dan sengatan.
  7. Di dalam hadits terdapat penjelasan manhaj salaf. Hal ini dapat dipahami dari perkataan Sa'id bin Jubair: "Sungguh telah berbuat baik orang yang mengamalkan hadits yang telah ia dengar." Dengan demikian jelaslah bahwa hadits yang pertama tidak bertentangan dengan hadits kedua.
  8. Tidak minta diruqyah (tidak meminta supaya lukanya ditempel dengan besi yang dipanaskan) dan tidak melakukan tathayyur adalah termasuk pengamalan tauhid yang benar.
  9. Sikap tawakkal kepada Allâh lah yang mendasari sikap tersebut
  10. Dalamnya ilmu para shahabat. Karena mereka mengetahui orang yang dinyatakan dalam hadits tersebut tidak dapat mencapai derajat dan kedudukan yang demikian kecuali dengan amalan.
  11. Gairah dan semangat para sahabat untuk berlomba-lomba mengerjakan amal kebaikan.
  12. Golongan yang masuk surga tanpa hisab dan adzab adalah yang tidak minta diruqyah, dikay dan tidak melakukan tathayyur serta bertawakkal kepada Rabb dengan sempurna.
  13. Sabda Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam : "Kamu termasuk golongan mereka," adalah salah satu tanda kenabian beliau.
  14. Keutamaan 'Ukasyah
  15. Penggunaan kata sindiran: "Kamu sudah kedahuluan 'Ukasyah." Tidak berkata: "Kamu tidak pantas untuk dimasukkan ke golongan mereka."
  16. Keelokkan budi pekerti Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam.

Disadur dari: Fathul Majid Syarh Kitabut Tauhid (hal 54-62) karya Syaikh Abdir Rohman bin Hasan Alu Syaikh.

Adab Duduk di Pinggir Jalan

Al Faqih


Hadist Adab Duduk di Jalan
Dari Abu Said Al-Khudry radhiallahu’anhu dari Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam, beliau bersabda:
"Jauhilah oleh kalian duduk-duduk di jalan".
Maka para Sahabat berkata:
"Kami tidak dapat meninggalkannya, karena merupakan tempat kami untuk bercakap-cakap".
Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam berkata:
"Jika kalian enggan (meninggalkan bermajelis di jalan), maka berilah hak jalan".
Sahabat bertanya:
"Apakah hak jalan itu?"
Beliau menjawab:
"Menundukkan pandangan, menghilangkan gangguan, menjawab salam, memerintakan kebaikan dan mencegah kemungkaran."
Hadits di atas menjelaskan, sekaligus membenarkan waqi' (kenyataan) pahit yang melanda umat ini. Di mana mayoritas kaum muslimin sekarang banyak menghabiskan waktunya untuk nongkrong di tempat-tempat keramaian atau tepi jalan, sambil menikmati kemaksiatan dengan model dan corak yang bermacam-macam. Kalau kita tanya, mereka akan menjawab, "Hanya cuci mata, refresing, menikmati pemandangan" dan yang semisalnya.

Padahal sebelumnya, ketika kita ajak mereka untuk hadir di majlis ta'lim, mengaji agama, merekapun berasalan sibuk, capek, tidak punya waktu dan setumpuk alasan lain. Bahkan karena kebenciannya dengan ilmu agama, tidak jarang di antara mereka ada yang sengaja berasalan sakit, padahal tubuhnya sehat.

Ini adalah realita pahit yang menimpa kaum muslimin sekarang ini, khususnya muda-mudi kita. Sebagian mereka melupakan tujuan hidup yang sebenarnya, yaitu beribadah kepada Allah. Merekapun lupa, waktu adalah modal utama yang tak akan pernah kembali lagi jika sudah berlalu. Sedangkan kebahagiaan dan kecelakaan hamba di akhirat sangat bergantung kepada cara mengisi kehidupannya.

Apakah mereka tidak sadar, pekerjaan mengumbar hawa nafsu itu akan mengundang murka Allah Ta’ala dan semakin menjauhkan mereka dari hidayah serta petunjukNya ?

Tidakkah mereka renungi, kelak mereka akan di mintai pertanggung-jawaban tentang kesempurnaan nikmat (indra) yang mereka miliki ?

Alangkah bahagianya orang yang menghabis kan umurnya dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala, orang yang menjauhkan diri dari segala bentuk kemaksiatan dan kesia-siaan.

Referensi : http://www.majalah-assunnah.com/index.php?option=com_content&view=article&id=100:adab-duduk-di-pinggir-jalan&catid=46:hadist&Itemid=96
Disusun oleh: Ahmad Hamidin As-Sidawy

Kebaikan Islam Seseorang, Ialah dengan Meninggalkan Perkara yang Tidak Bermanfaat



Al Faqih


Hadist
Dari Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu, dia berkata:
“Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda,
“Di antara (tanda) kebaikan Islam seseorang adalah
meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat baginya".”

(Hadits hasan. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan selainnya seperti itu).

TAKHRIJ HADITS

Hadits ini shahîh (dengan beberapa syawahidnya). Diriwayatkan oleh:
  1. At-Tirmidzi, no. 2317.
  2. Ibnu Mâjah, no. 3976.
  3. Al-Baghawi dalam Syarhus-Sunnah, XIV/320, no. 4132.
  4. Ibnu Hibbân, no. 229 - at-Ta’lîqâtul Hisân.
  5. Ibnu Abid-Dunya dalam kitab ash-Shamtu (no. 108) dari Sahabat Abu Hurairah. Diriwayatkan juga oleh: Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyâ‘ (VIII/273-274, no. 12181), Ahmad (I/201), ath-Thabrani dalam Mu’jamul-Kabîr (no. 2886) dari Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Syawahid hadits ini dari Abu Bakar, Husain bin Ali, dan Zaid bin Tsabit. Yang diriwayatkan oleh para imam ahli hadits. Hadits Abu Hurairah di atas dishahîhkan oleh Syaikh al-Albani dalam at- Ta’lîqâtul-Hisân ‘ala Shahîh Ibni Hibban, no. 229).

SYARAH HADITS
Hadits di atas merupakan salah satu prinsip dari prinsip-prinsip adab dan etika yang agung. Imam Abu ‘Amr bin Shalâh rahimahullâh menceritakan dari Abu Muhammad bin Abi Zaid rahimahullâh, imam madzhab Mâliki pada masanya, bahwa ia berkata: “Puncak etika kebaikan bermuara dari empat hadits:
  1. Sabda Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, ‘Barang siapa beriman kepada Allâh Ta'ala dan Hari Akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam’,
  2. Sabda Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, ‘Di antara kebaikan keislaman seseorang, ialah dia meninggalkan apa yang tidak bermanfaat baginya’,
  3. Sabda Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam yang ringkas kepada orang yang meminta wasiat kepadanya, ‘Janganlah engkau marah’, dan
  4. Sabda Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, ‘Orang mukmin itu mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya’.”[1]
Makna hadits ini, bahwasanya di antara kebaikan keislaman seseorang ialah ia meninggalkan perkataan dan perbuatan yang tidak bermanfaat baginya. Dia hanya mencukupkan diri dengan berbagai perkataan dan perbuatan yang bermanfaat baginya. Makna ya'nihi “ya’nîhi” dalam hadits ini, ialah perhatian (inâyah)nya tertuju padanya, kemudian sesuatu tersebut menjadi maksud dan tujuannya. Makna al-inâyah, ialah perhatian yang lebih terhadap sesuatu. Seseorang meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat baginya, dan tidak ia inginkan bukan karena pertimbangan hawa nafsu dan keinginan jiwa, namun karena pertimbangan syari’at Islam. Oleh karena itu, beliau menjadikan sikap seperti itu sebagai bukti kebaikan keislamannya.
Jadi, jika keislaman seseorang baik, dia meninggalkan ucapan dan tindakan-tindakan yang tidak bermanfaat baginya dalam Islam, karena Islam mengharuskan seseorang mengerjakan kewajibankewajiban seperti yang telah dijelaskan dalam hadits Jibril radhiyallâhu'anhu (hadits ke-2 kitab al-Arba’în) dan hadits-hadits yang lainnya. Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
Hadist
Berkemauan keraslah kepada apa-apa yang bermanfaat bagimu,
dan minta tolonglah kepada Allâh Ta'ala
dan janganlah bersikap lemah….”
[2]
Para Ulama menjelaskan, bahwa yang dimaksud meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfat, sebagian besar ditujukan kepada menjaga lisan (lidah), dari perkataan yang sia-sia. Prinsip yang mendasar ialah meninggalkan hal-hal yang diharamkan dalam Islam, sebagaimana sabda Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam,
Hadist
Seorang muslim, ialah orang yang kaum Muslimin selamat dari lidah dan tangannya;
dan orang yang hijrah, ialah orang yang meninggalkan apa yang Allâh larang.[3]
Jadi, jika keislaman seseorang baik, dia akan meninggalkan apa saja yang tidak bermanfaat baginya; baik itu hal-hal yang diharamkan, syubhat, makruh, dan hal-hal mubah yang berlebihan yang tidak dibutuhkan, karena itu semua tidak bermanfaat bagi seorang Muslim. Jika keislaman seseorang telah baik dan mencapai tingkatan ihsân, maka ketika beribadah kepada Allâh Ta'ala seolah-olah ia melihat-Nya, dan jika ia tidak melihat-Nya maka Allâh Ta'ala melihatnya. Maka, barang-siapa beribadah kepada Allâh Ta'ala dengan mengingat kedekatan-Nya dan penglihatannya kepada Allâh Ta'ala dengan hatinya atau mengingat kedekatan dan penglihatan Allâh Ta'ala kepadanya, sungguh keislamannya telah baik dan mengharuskannya meninggalkan apa saja yang tidak bermanfaat baginya dalam Islam dan ia lebih sibuk dengan hal-hal yang bermanfaat baginya.
Kedua kedudukan itu membuahkan sifat malu kepada Allâh Ta'ala Ta’ala dan meninggalkan apa saja yang membuatnya malu kepada-Nya. Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam pernah bersabda:
Hadist
Hendaklah kalian malu kepada Allâh dengan sebenar-benar malu.
Barang siapa yang malu kepada Allâh Ta'ala dengan sebenar-benar malu,
hendaklah ia menjaga kepala dan apa yang ada padanya,
menjaga perut dan apa yang ada di dalamnya,
dan hendaklah ia selalu mengingat kematian dan kehancuran badan.
Barang siapa menginginkan kehidupan akhirat,
hendaklah meninggalkan perhiasan dunia,
dan barang siapa melakukan hal itu,
sungguh, ia telah malu kepada Allâh Ta'ala dengan sebenar-benar malu.[4]
Salah seorang yang arif mengatakan “jika engkau berbicara, ingatlah pendengaran Allâh Ta'ala terhadapmu. Jika engkau diam, ingatlah penglihatan-Nya kepadamu”.[5]
Hal ini telah diisyaratkan oleh Al-Qur`ân di banyak tempat, misalnya firman Allâh Ta’ala:
Qs. Qaf/50-18
Tidak ada satu kata yang diucapkannya,
melainkan ada di sisinya Malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat).

(Qs. Qâf/50:18)
Firman Allâh Ta'ala :
Qs. az-Zukhruf/43:80
Ataukah mereka mengira bahwa Kami tidak mendengar rahasia dan bisikan-bisikan mereka?
Sebenarnya (Kami mendengar),
dan utusan-utusan Kami (para Malaikat) selalu mencatat di sisi mereka.

(Qs. az-Zukhruf/43:80)
Banyak manusia tidak membandingkan antara ucapannya dan perbuatannya. Akibatnya, ia bicara ngawur, sia-sia, tidak bermanfaat, dan tidak terkendali. Hal ini juga tidak diketahui oleh Sahabat Mu’adz bin Jabal radhiyallâhu'anhu, ketika ia bertanya kepada Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam : “Apakah kita juga akan disiksa karena apa yang kita ucapkan?”
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menjawab:
Hadist
“Wahai Mu’adz! Semoga ibumu selamat.
Tidak ada yang membuat manusia tertelungkup di atas wajahnya di neraka,
melainkan disebabkan hasil lidah mereka”.
[6]
Allâh Ta’ala menegaskan, tidak ada kebaikan dari banyak pembicaraan manusia di antara mereka. Allâh Ta'ala berfirman:
Qs. An-Nisa'/4:114
Tidak ada kebaikan dari banyak pembicaraan rahasia mereka,
kecuali pembicaraan rahasia dari orang yang menyuruh (orang) bersedekah,
atau berbuat kebaikan,
atau mengadakan perdamaian di antara manusia.
(Qs. an-Nisâ‘/4:114)
Dan hadits ini menunjukkan, bahwasanya meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat termasuk bagian dari kebaikan keislaman seseorang. Jika ia meninggalkan apa yang tidak bermanfaat baginya dan mengerjakan apa yang bermanfaat baginya, sungguh, telah sempurnalah kebaikan keislamannya.
Imam an-Nawawi rahimahullâh (wafat th. 676 H) berkata: “Ketahuilah bahwa seorang mukallaf (yang telah dibebani hukum syari’at/sudah baligh) seharusnya dapat menjaga lisannya untuk tidak berbicara, kecuali untuk hal-hal yang benar-benar bermanfaat. Apabila menurut pertimbangannya kemaslahatan antara diam dan berbicara adalah sama, maka menurut petunjuk Sunnah, ia lebih baik mengambil sikap diam. Sebab, pembicaraan yang mubah (boleh) terkadang bisa membawa kepada perbuatan haram atau makruh. Yang demikian banyak sekali terjadi (menjadi kebiasaan). Ingat, mencari selamat adalah sesuatu keberuntungan yang tiada taranya. (Kitab Riyâdush-Shâlihîn, Bab Tahrîmil-Ghîbah wal-’Amri bi Hifzhil-Lisân).
Apabila seseorang meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat baginya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, maka baiklah keislamannya. Apabila ia baik keislamannya, maka akan dilipatgandakan kebaikannya.
Banyak sekali hadits yang menerangkan tentang seseorang yang baik keislamannya, kebaikan-kebaikannya dilipat-gandakan, adapun kesalahan-kesalahannya dihapuskan. Dan yang nampak, bahwa pelipat-gandaan kebaikan itu sangat ditentukan dari baik atau tidaknya keislaman seseorang. Diriwayatkan dari Sahabat Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu, dari Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, Beliau bersabda:
Hadist
Jika salah seorang dari kalian memperbaiki keislamannya,
maka setiap kebaikan yang dia kerjakan
ditulis dengan sepuluh kebaikan hingga tujuh ratus kali lipat,
dan setiap kesalahan yang dilakukannya
ditulis dengan kesalahan yang sama
hingga dia bertemu dengan Allâh Ta'ala.
[7]
Satu kebaikan dilipat-gandakan hingga sepuluh kali lipat merupakan suatu kepastian. Pelipat-gandaan kebaikan itu sangat terkait dengan kebaikan keislaman seseorang, keikhlasan niat, dan kebutuhan kepada amal tersebut dan keutamaannya, seperti menyumbang dana untuk jihad, memberi nafkah untuk keperluan haji, memberi nafkah kepada sanak kerabat, anak-anak yatim, orang miskin, dan saat-saat di mana nafkah diperlukan.[8]
Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallâhu'anhu, dia berkata, Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
Hadist
Apabila seorang hamba masuk Islam lalu baik keislamannya,
Allâh Ta'ala menulis baginya setiap kebaikan yang pernah dia kumpulkan
dan dihapus darinya setiap kesalahan yang pernah dia kumpulkan.
Setelah itu yang terjadi ialah qisash;
satu kebaikan dilipat-gandakan dengan sepuluh kali lipat
dari nilai kebaikannya hingga tujuh ratus kali lipat,
dan satu kesalahan (dihitung) satu kesalahan yang sama
kecuali jika Allâh Ta'ala memaafkannya.
[9]
Yang dimaksud dengan kebaikan dan kesalahan yang dikumpulkan pada hadits di atas, ialah kebaikan dan kesalahan yang terjadi sebelum Islam. Ini menunjukkan, bahwa seseorang yang diberikan pahala karena kebaikan-kebaikannya pada saat dia masih kafir, apabila dia masuk Islam, dan kesalahannya dihapus apabila dia masuk Islam, tetapi dengan syarat yaitu keislamannya baik, dan menjauhi berbagai kesalahan itu setelah dia masuk Islam. Imam Ahmad rahimahullâh menegaskan hal ini.
Hal ini juga ditunjukkan oleh sebuah hadits dalam ash-Shahîhain dari Ibnu Mas’ud radhiyallâhu'anhu, ia berkata, “Wahai Rasulullah! Apakah kami akan disiksa karena apa yang kami lakukan pada masa Jahiliyyah?”
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menjawab:
Hadist
Adapun seseorang dari kalian yang berbuat kebaikan dalam masa Islamnya,
dia tidak akan disiksa karenanya.
Namun barang siapa berbuat tidak baik,
dia akan disiksa karena perbuatannya pada masa Jahiliyyah dan masa Islam.
[10]
Sahabat ‘Amr bin al-Ash radhiyallâhu'anhu, ketika masuk Islam ia berkata kepada Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam : “Aku ingin memberikan syarat!”
Beliau menjawab, “Engkau mensyaratkan apa?”
Aku menjawab, “Agar Allâh Ta'ala mengampuniku,”
Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menjawab: “Tidakkah engkau mengetahui, bahwa Islam menghapuskan apa (kesalahan) yang sebelumnya?”
Dalam riwayat Imam Ahmad rahimahullâh disebutkan: “Sesungguhnya Islam menghapus dosa-dosa sebelumnya”.[11]
Dari Hakim bin Hizâm radhiyallâhu'anhu berkata, “Wahai Rasulullah! Bagaimana pendapatmu tentang banyak hal yang telah aku perbuat pada masa Jahiliyyah, berupa sedekah atau membebaskan budak atau menyambung silaturahmi; apakah ada pahala padanya?”
Maka Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menjawab, “Engkau masuk Islam bersama kebaikan yang telah engkau perbuat”.[12]
Ini menunjukkan, bahwa kebaikan-kebaikan orang kafir akan diberikan pahala apabila dia masuk Islam, dan apabila baik keislamannya akan dilipat-gandakan pahalanya. Mudah-mudahan kita termasuk orang yang sibuk dengan hal-hal yang bermanfaat, dan menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak bermanfaat, dan mudah-mudahan keislaman kita semakin menjadi baik.

FAWA‘ID HADITS
  1. Agama Islam menghimpun berbagai bentuk kebaikan, dan kebaikan-kebaikan Islam ini terhimpun dalam dua kata,
    Allâh Ta'ala Ta’ala berfirman:

    Qs. an-Nahl/19:90
    Sesungguhnya Allâh menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan…
    (Qs. an-Nahl/16:90)
  2. Tolok ukur mengerjakan sesuatu yang bermanfaat dan meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat, ialah dengan Syariat Islam.
  3. Perbuatan seseorang dalam meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat dan tidak ada kaitannya dengan berbagai urusan dan kepentingannya, ini merupakan tanda kebaikan keislamannya.
  4. Orang yang sibuk dengan sesuatu yang tidak bermanfaat, maka hal itu merupakan indikasi kekurangan dalam agamanya.
  5. Hendaklah seorang muslim mencari berbagai kebaikan keislamannya dan meninggalkan segala apa yang tidak bermanfaat baginya sehingga merasa tenang. Sebab, bila ia disibukkan dengan urusan yang tidak penting dan tidak bermanfaat, akan membuat dirinya lelah.
  6. Hendaklah seorang muslim memanfaatkan waktu dengan sesuatu yang dapat mendatangkan manfaat di dunia dan akhirat. Dan hal ini merupakan jalan selamat.
  7. Dianjurkan untuk menjauhi perkara-perkara yang rendah dan tidak bermanfaat.
  8. Dianjurkan untuk melatih jiwa dan membersihkannya, yaitu dengan menjauhkannya dari berbagai kekurangan, kehinaan, dan syubhat yang mengotorinya.
  9. Sibuk dan mencampuri urusan orang lain merupakan perbuatan sia-sia dan sebagai tanda lemahnya keimanan, serta dapat menimbulkan perpecahan dan pemusuhan antara manusia.
  10. Hati dan lisan yang sibuk dengan berdzikir kepada Allâh Ta'ala Ta’ala sesuai dengan sunnah adalah hati yang tenang.
  11. Seorang muslim harus berfikir sebelum berkata dan berbuat, apakah perkataan dan perbuatannya bermanfaat ataukah tidak, bermanfaat tidak untuk dirinya, keluarganya, dan untuk Islam dan kaum muslimin menurut tolok ukur syari’at.
  12. Amar ma’ruf dan nahi munkar adalah perkataan dan perbuatan yang bermanfaat, akan tetapi harus menurut ketentuan syariat.
  13. Apabila keislaman seseorang itu baik, maka akan dilipatgandakan pahalanya.
Wallâhu a’lam.

Referensi : http://www.majalah-assunnah.com/index.php?option=com_content&view=article&id=132:kebaikan-islam-seseorang-ialah-dengan-meninggalkan-perkara-yang-tidak-bermanfaat&catid=46:hadist&Itemid=96
Ditulis oleh : Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Marâji‘:
  1. Al-Qur‘ân dan terjemahnya.
  2. Al-Mu’jamul Kabîr.
  3. Ash-Shamtu, karya Ibnu Abid Dunya. Tahqîq: Abu Ishaq al-Huwaini.
  4. Al-Wâfi fî Syarhil Arba’în an-Nawawiyyah, karya Dr. Musthafa al-Bugha dan Muhyidin Mustha.
  5. Hilyatul-Auliyâ‘.
  6. Jâmi’ul-‘Ulûm wal-Hikam, karya Ibnu Rajab al-Hanbali. Tahqîq: Syu’aib al-Arnauth dan Ibrahim Baajis.
  7. Kutûbus Sab’ah. 8.Mushannaf ‘Abdur-Razzaq.
  8. Qawâ‘id wa Fawâ‘id minal-‘Arba’în an-Nawawiyyah, karya Nazhim Muhammad Sulthan.
  9. Shahîh Ibni Hibban dengan at-Ta’liqâtul Hisân ‘ala Shahîh Ibni Hibban.
  10. Syarhul-Arba’în an-Nawawiyyah, karya Syaikh Muhammad bin Shâlîh al-‘Utsaimîn.
  11. Syarhus-Sunnah lil-Baghawi
  12. Tafsîr Ibni Katsir.
  13. Dan kitab-kitab lainnya.

[1] Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam (I/288).
[2] Shahîh. HR Muslim (no. 2664), dari Sahabat Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu.
[3] HR al Bukhâri (no. 10) dan Muslim (no. 40), dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiyallâhu'anhu.
[4] Hasan. HR Ahmad (I/387), at-Tirmidzi (no. 2458), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 4033), dan al-Hakim (IV/323) dari
Sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallâhu'anhu. Derajat hadits ini hasan dengan seluruh jalannya. Lihat Shahîh Jâmi’ush-Shagîr (no. 935).
[5] Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam (I/290).
[6] Shahîh. HR Ahmad (V/230, 236, 237, 245), at-Tirmidzi (no. 2616), an-Nasâ‘i dalam as-Sunanul-Kubra (no. 11330), ‘Abdur-Razzaq dalam al-Mushannaf (no. 20303), Ibnu Majah (no. 3973), Ibnu Abi Syaibah dalam al-Imân (no. 1, 2), al-Baihaqi dalam as- Sunanul Kubra (IX/20), ath-Thayalisi (no. 560), ath-Thabrâni dalam al-Mu’jamul-Kabîr (XX/200, 291, 294, 304, 305), al-Hâkim (II/412-413), dan Ibnu Hibban (no. 214).
[7] Shahîh. HR Muslim (no. 129).
[8] Jâmi’ul-‘Ulûm wal-Hikam (I/295).
[9] Shahîh. HR al-Bukhâri secara mu’allaq (I/88 –Fat-hul-Bâri) dan dimaushulkan oleh an-Nasâ‘i (VIII/105-106).
[10] Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 6921) dan Muslim (no. 120).
[11] Shahîh. HR Muslim (no. 121) dan Ahmad (IV/205).
[12] Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 1436, 2220, 2538, 5992) dan Muslim (no. 123)

Empat Orang Yang Dilaknat Allâh Ta'ala (*)

Al Faqih

Dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallâhu'anhu, Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda :
hadist
Allâh melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allâh.
Allâh melaknat orang yang mencaci-maki kedua orang- tuanya.
Allâh melaknat orang yang merubah tanda batas tanah (orang lain),
dan Allâh melaknat orang yang melindungi orang yang mengada-adakan perkara baru
dalam agama (bid’ah).
TAKHRIJ HADITS
- HR Bukhari di Adabul Mufrad, bab (8) man la’ana Allâh man la’ana walidaih, no. 17.
- Muslim, dalam Shahih Muslim, kitab al adhahi, no. 3657, 3658, 3659.
- An Nasa-i, dalam as Sunan, kitab adh dhahaya, no. 4346, dan
- Ahmad di berbagai tempat dalam Musnad-nya.[1]

SYARAH HADITS
Di antara nikmat Allâh Ta'ala yang terbesar dan anugerah-Nya yang paling agung, yaitu dijadikannya kita sebagai kaum Muslimin dan kaum Mukminin yang hanya beribadah kepada-Nya, dan yang hanya mengikuti Nabi-Nya Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, serta menjadi pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan. Islam adalah agama yang mulia, tegak di atas al-Qur‘an dan Sunnah.
Allâh Ta'ala berfirman dalam al Qur‘an :
Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur‘an,
agar kamu menerangkan kepada umat manusia
apa yang telah diturunkan kepada mereka.
(Qs. an-Nahl/16 : 44)

Al-Qur‘an adalah dzikr, dan Sunnah adalah dzikr, sebagaimana yang telah disabdakan oleh Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam:
“Ketahuilah, bahwa aku telah diberi al-Qur‘an dan yang semisal dengannya”.
Al-Qur‘an adalah Kalamullah yang diwahyukan kepada Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam yang merupakan mukjizat, dan membacanya terhitung sebagai suatu ibadah. Demikian pula Sunnah (hadits) Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam adalah wahyu Allâh Ta'ala, seperti yang telah Dia firmankan :
(QS an Najm/53 : 3-4)
Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al Qur‘an) menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).
(QS an Najm/53 : 3-4)

Dan sebagaimana yang telah diriwayatkan dari Amru bin ‘Ash radhiyallâhu'anhu, bahwasanya dia pernah datang kepada Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam sambil bertanya :
“Wahai, Rasulullah. Sesungguhnya, Anda terkadang berkata dalam keadaan marah dan terkadang dalam keadaan ridha. Apakah boleh kita menulis semua yang Anda katakan?”
Maka Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menjawab,
”Tulis semuanya, demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidaklah yang keluar dariku melainkan haq (benar),”
sambil menunjuk ke arah mulut beliau yang suci.
Hadits Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam adalah tafsir bagi ayat-ayat yang global dalam al-Qur‘an dan pengkhusus bagi ayat-ayat yang umum, serta pengikat bagi ayat-ayat yang mutlak, dan dia adalah wahyu Allâh Ta’ala. Di antara wahyu tersebut adalah diberinya Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam jawaami’ul kalim, sebagaimana yang disebutkan dalam Shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim, Pent), beliau bersabda :
“Aku diutus dengan jawaami’ul kalim”.
Arti jawaami’ul kalim adalah ucapan singkat, tetapi padat maknanya. Di antara jawaami’ul kalim tersebut adalah hadits Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam yang merupakan pembahasan kita sekarang yang tercantum dalam Shahih Muslim, dari seorang sahabat yang mulia dan seorang khalifah yang mendapat petunjuk, yaitu Ali bin Abi Thalib radhiyallâhu'anhu, bahwasanya Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda :
hadist
Allâh melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allâh.
Allâh melaknat orang yang mencaci-maki kedua orang- tuanya.
Allâh melaknat orang yang merubah tanda batas tanah (orang lain),
dan Allâh melaknat orang yang melindungi orang yang mengada-adakan
perkara baru dalam agama (bid’ah).

Hadits ini amat singkat, namun mengandung banyak perkara yang berharga, karena menjelaskan hak-hak yang agung, yang menjadi landasan sosial masyarakat muslim. Jika kaum Muslimin telah mengalami kemunduran, maka dengan mewujudkan hak-hak ini, mereka akan kembali menjadi umat yang maju di tengah umat-umat yang lain. Di dalam hadits ini terdapat penjelasan tentang hak ibadah, hak sunnah, hak nafs (jiwa), dan hak orang lain. Jika kita mau merenungi keempat hak-hak di atas, maka kita akan mendapatkan hal tersebut telah mencakup semua hak muslim, baik yang berkaitan dengan dirinya, orang lain, dan yang berkaitan dengan Rabb-nya serta Nabi-Nya Shallallâhu 'Alaihi Wasallam.
Hak ibadah adalah tauhid yang dijelaskan oleh Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dalam sabda beliau :
“Allâh melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allâh”.
Bagaimana seseorang bisa mengarahkan sembelihan kepada selain Allâh? Sedangkan tindakan tersebut termasuk ibadah. Dan ibadah adalah sebuah nama yang mencakup hal-hal yang dicintai dan diridhai oleh Allâh Ta'ala, baik yang berupa perkataan maupun perbuatan, yang lahir maupun yang batin, sebagaimana yang telah Allâh Ta'ala firmankan :
(QS al An’am/6 : 162-163)
Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadatku (sesembelihanku),
hidupku dan matiku hanyalah untuk Allâh, Tuhan semesta alam,
tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku,
dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allâh)”.
(QS al-An’am/6 : 162-163)

Menjaga hak tauhid dan ibadah, adalah kewajiban yang harus ditanamkan di dalam hati dan akal pikiran, lalu diwujudkan dalam amal perbuatan dengan penuh keyakinan, tanpa ada sedikit pun keraguan. Bagaimana tidak demikian, sedangkan kita tidaklah diciptakan, melainkan hanya untuk beribadah kepada-Nya saja, sebagaimana firman Allâh Ta'ala :
(QS adz Dzariyaat/51 : 56-58)
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia,
melainkan supaya mereka menyembahKu.
Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka,
dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan.
Sesungguhnya Allâh,
Dialah Maha Pemberi rezki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.
(QS adz Dzariyaat : 56-58)

Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam sudah mengajarkan kepada sahabat-sahabat beliau yang masih kecil, dan kepada yang dewasa tentang hak ibadah ini agar ditanamkan dalam hati, dan tumbuh di dalam akal pikiran serta anggota badan.
Telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallâhu'anhu –sepupu Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam- bahwasanya Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam berkata kepadanya :
“Wahai, anak kecil. Aku ingin mengajarkan kepadamu beberapa perkara. (Yaitu) jagalah Allâh, maka pasti Allâh menjagamu. Jagalah Allâh, pasti engkau akan mendapati-Nya di hadapanmu. Jika engkau meminta, maka mintalah kepada Allâh. Dan jika engkau memohon pertolongan, mintalah kepada Allâh”.
Maka, tidak ada yang berhak diibadahi melainkan Allâh. Tidak ada yang berhak dimintai pertolongan melainkan Allâh. Tidak ada yang berhak dijadikan sumpah melainkan Allâh. Dan tidak ada yang berhak di-istighasah-i, melainkan Allâh. Tidak ada yang berhak diserahi sesembelihan dan nadzar, melainkan Allâh.
Tidak boleh bernadzar kepada Nabi, wali maupun siapa saja, meskipun memiliki kedudukan yang tinggi. Dengan ini, (seorang muslim) bisa menjaga hak ibadah dan tauhidnya.
Kemudian Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda :
“Allâh melaknat orang yang melindungi muhditsan”.
Al-muhdits, adalah orang yang mengada-adakan hal baru dalam agama (bid’ah) dan yang merubah Sunnah Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Dalam hal ini, terdapat pemeliharaan terhadap hak Sunnah dan ittiba’ (mengikuti Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam).
Ketika kita mengikrarkan kalimat tauhid Lâ ilaha illallâh Muhammaddur Rasûlullâh, maka, ucapan ini mengandung hak-hak, kewajiban-kewajiban serta konsekuensi-konsekuensi. Dan kalimat tersebut, bukan hanya sekedar huruf-huruf yang dirangkai, atau ucapan yang terlepas begitu saja dari lisan. Tetapi, dengan kalimat inilah berdiri langit dan bumi. Tidak diciptakan manusia, melainkan untuk mewujudkan kandungan kalimat tersebut. Dan tidaklah diturunkan kitab-kitab Allâh serta diutus para rasul, melainkan karenanya.
Kalimat Lâ ilaha illallâh, maknanya tidak ada yang berhak disembah dengan benar, kecuali Allâh. Dan kalimat Muhammaddur Rasûlullâh, maknanya tidak ada yang berhak diikuti, melainkan Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Sebaik-baik perkara adalah apa yang disunnahkannya. Dan sejelek-jelek perkara adalah apa yang beliau tinggalkan (bid’ah, Pent). Tidaklah beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam meninggal dunia, melainkan beliau telah menjelaskan segala kebaikan kepada kita dan melarang dari segala kejelekan.
Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hibban rahimahullâh dalam Shahih-nya dari sahabat Abu Dzar al-Ghifari radhiyallâhu'anhu bahwasanya dia berkata :
“Tidaklah Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam meninggal dunia, melainkan telah dijelaskan semuanya kepada kita, sampai-sampai burung yang terbang di udara telah beliau jelaskan kepada kita ilmunya”.
Dalam hadits ini terdapat penjelasan tentang hak Sunnah yaitu hak Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Tidak ada yang berhak diikuti, melainkan Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Beliaulah suri tauladan yang baik dan yang sempurna bagi kita; bagaimana tidak, sedangkan Allâh Ta'ala telah berfirman tentang beliau :
(QS al Ahzab/33 : 21)
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasûlullâh itu suri teladan yang baik bagimu,
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allâh
dan (kedatangan) hari Kiamat dan dia banyak menyebut Allâh.
(Qs. al-Ahzab/33 : 21)

Allâh Ta'ala telah menjelaskan, bahwa satu-satunya jalan petunjuk, yang seorang hamba selalu memohonnya lebih dari sepuluh kali sehari semalam di kala shalat fardhu, sunnah maupun nafilah (yaitu, Tunjukilah kami jalan yang lurus), adalah dengan mengikuti sunnah Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam.
Tidak ada jalan yang lurus melainkan dengan mengikuti Sunnah beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, sebagaimana yang telah Allâh Ta'ala firmankan :
"Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk."
(QS an Nuur : 54)
Apabila kalian mengikuti Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, maka kalian akan mendapat hidayah yang selalu kalian minta kepada Rabb kalian dikala siang dan petang hari. Inilah hak Allâh Ta'ala, dan inilah hak Rasul-Nya Shallallâhu 'Alaihi Wasallam serta hak agama-Nya.
Maka apakah kita telah menjalankan semua hak-hak ini? Di bagian yang lain dari hadits ini terdapat peringatan adanya dua kewajiban lain. Yang pertama, yang merupakan urutan kedua dari hadits di atas, yaitu sabda beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam :
“Allâh melaknat orang yang mencela kedua orang tuanya”.
Berbakti kepada kedua orang tua adalah suatu kewajiban dan kita mesti menjadi pemelihara keduanya dengan baik. Mendo'akan mereka dan menjaga hak-hak mereka, tidak meremehkannya serta tidak menjadi penyebab engkau mencaci kedua orang tuamu. Hak kedua orang tua, terkadang bisa secara langsung disia-siakan oleh anak yang durhaka, yaitu dengan mencaci-maki ayah atau ibunya karena mencari ridha sang istri, hawa nafsu maupun setannya. Dan sangat disesalkan, hal ini terjadi (di tengah masyarakat kita, Pent).
Adapun yang kedua, secara tidak langsung, yaitu engkau berbuat sesuatu yang menyebabkan orang lain mencaci-maki kedua orang tuamu. Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam pernah bersabda :
“Termasuk dosa besar adalah seseorang mencaci-maki kedua orang tuanya,”
Para sahabat bertanya,
”Bagaimana seseorang bisa mencaci-maki kedua orang tuanya?”,
Maka beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menjawab :
“Dia mencaci-maki ayah orang lain, lalu orang lain itu mencaci maki kembali orang tuanya”.
Dan ini (termasuk) di antara arah tujuan syariat, yaitu menutup segala pintu (kejelekan) serta membendung kerusakan. Engkau tidak boleh berbuat suatu yang mengakibatkan kerusakan yang besar di kemudian hari. Tetapi amat disayangkan, perkara ini secara global banyak disepelekan oleh sebagian kaum Muslimin, bahkan oleh Islamiyyin (orang-orang yang bersemangat membela Islam tanpa bekal ilmu yang benar, Pent). Kita melihat, mereka bersemangat dalam banyak perkara dan banyak berbuat sesuatu, dan mereka mengira hal tersebut sebagai suatu bentuk hidayah dan kebenaran, namun hakikatnya tidak seperti itu.[2] Mereka melakukan dengan semangat membara, yang mengakibatkan umat Islam menjadi santapan lezat bagi umat-umat yang lain, dan menjadikan orang-orang kafir menguasai kaum Muslimin dan merampas harta kekayaan mereka. Ini termasuk menutup segala pintu kejelekan.
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam melarang kita mencaci-maki orang tua, maka bagaimana jika kita melakukannya lebih dari itu? Yaitu mencaci-maki orang tua orang lain, lalu orang tersebut mencaci-maki kedua orang tua kita? Ini termasuk dosa besar.
Jika kita melaksanakan ketaatan kepada mereka (kedua orang tua) maka ini termasuk menjaga hak jiwa pribadi (nafs). Adapun meremehkan dan menyia-nyiakan mereka, maka akibat buruknya akan menimpa dirinya sendiri.
Allâh Ta'ala berfirman, yang artinya :
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan
supaya kamu jangan menyembah selain Dia
dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.”
(Qs. Al-Isra’ : 23)
Di dalam ayat ini Allâh Ta'ala menyatukan antara ketaatan kepada kedua orang tua dengan ibadah hanya kepada-Nya saja, karena didalamnya terdapat unsur pemeliharaan terhadap hak jiwa sendiri, ayah dan anak. Adapun hak yang terakhir yang disebutkan dalam hadits ini adalah yang berkaitan dengan hak orang lain.
Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menjelaskan dalam hadits ini empat hak yaitu :
1. Hak Allâh
2. Hak Nabi
3. Hak nafs
4. Hak orang lain

Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda :
“Allâh melaknat orang yang merubah tanda batas tanah orang lain”
Maksudnya adalah seseorang yang melanggar hak (tanah) orang lain baik itu tetangganya, kerabat, saudaranya ataupun orang yang jauh darinya. Barangsiapa yang melanggar hak orang lain meski kelihatannya sepele, niscaya akan terkena ancaman dalam hadits ini. Jika melanggar hak tanah orang lain saja yang berkaitan dengan masalah dunia mengakibatkan terlaknat, maka bagaimana kalau pelanggaran tersebut berkaitan dengan hak yang lebih besar dari itu seperti melanggar kehormatan atau kemuliaan orang lain dengan menggunjingnya, mengadu domba, berdusta atas namanya ?
Renungkanlah sabda Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam :
hadist
“Dosa riba yang paling besar adalah
seseorang melanggar kehormatan saudaranya muslim”
Yaitu dengan menggunjingnya, berdusta atas namanya, berburuk sangka kepadanya atau dengan mengadu domba antara dia dengan orang lain. Semua ini terlarang dan merupakan sebab perampasan hak orang lain dan termasuk dosa besar.
Jika kita mengetahui sebagaimana yang telah disabdakan oleh Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam :
“Satu dirham (hasil) riba yang dimakan oleh seseorang yang tahu (hukum-nya, pent) lebih besar dosanya di sisi Allâh dari pada 36 kedustaan”
Apabila ini tingkat paling rendah akibat harta riba, maka bagaimana dengan riba yang paling besar ? Ini semua dalam rangka menjaga hak-hak orang lain baik kerabat maupun orang yang jauh.
Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam ketika berpesan kepada Mu’adz bin Jabal, beliau bersabda :
“Dan pergauli manusia dengan akhlak yang baik”
Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam tidak mengatakan (pergaulilah) orang-orang mukmin atau muslimin atau yang berpuasa saja atau orang-orang shalih atau shadiqin saja, tapi beliau malah mengatakan (pergaulilah manusia) maksudnya semua manusia baik dia mukmin atau kafir, shaleh atau thaleh. Karena dengan akhlak yang mulia disertai pemeliharaan terhadap hak pribadi dan hak orang lain, kita dapat mengambil hati orang lain sehingga kita bisa menyerunya (kepada kebenaran).[3]

 
(*)
Naskah ini diangkat berdasarkan khutbah Jum’at Syaikh Ali bin Hasan al Halabi al Atsari – hafizhahullah di Masjid al-Akbar Surabaya, 18 Muharram 1427H bertepatan 17 Februari 2006. Narasi khutbah tersebut diterjemahkan oleh Abdurrahman Thayyib dan Kholid Syamhudi, kemudian kami tulis kembali dalam bentuk naskah, dengan penyesuaian seperlunya tanpa mengurangi substansi materi. Judul di atas adalah dari Redaksi.
Semoga bermanfaat. (Redaksi)
[1]
Takhrij ini merupakan tambahan dari Redaksi.
[2]
Redaksi : Hal ini seperti yang dilakukan oleh harakiyyin yang selalu semangat dalam mengobarkan api jihad melawan orang-orang kafir dengan melakukan peledakan-peledakan atau pembantaian warga sipil. Mereka kira, dengan semua itu dapat memuliakan Islam dan kaum Muslimin, padahal jika mereka mau merenungi kembali, justru mereka telah menyebabkan kaum Muslimin semakin ditindas dan mencoreng nama Islam. Sungguh benar yang Allâh Ta'ala firmankan tentang mereka ini :
Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?”
Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya
dalam kehidupan dunia ini,
sedangkan mereka menyangka bahwa
mereka berbuat sebaik-baiknya”.
(Qs. al-Kahfi : 103-104)
[3]
Kemudian khutbah ini beliau tutup dengan doa. (Redaksi)

Hadist Tentang Jumlah Takbir Shalat 'Ied (Studi Kritis)

Al Faqih



عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُكَبِّرُ
فِي الْفِطْرِ وَاْلأضْحَى
فِي الأُولَى سَبْعَ تَكْبِيْرَاتٍ وَفِي الثَّانِيَةِ خَمْسًا
Dari ‘Aisyah,
bahwa Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bertakbir dalam shalat Iedul Fithri dan Adha;
pada raka’at pertama tujuh takbir dan raka’at kedua lima kali.

TAKHRIJ AL HADITS[1]
Hadits Aisyah radhiyallâhu'anha ini dikeluarkan oleh:
  • Abu Dawud rahimahullâh dalam Sunan-nya 1/299 no.1149,
  • Al-Faryabi rahimahullâh dalam Ahkamul Iedain 1/134,
  • Al-Hakim rahimahullâh dalam Mustadrak-nya 1/298, dan
  • Al-Baihaqi rahimahullâh dalam Sunan Kubra 3/286

dari dua jalan periwayatan yang sampai kepada Ibnu Lahi’ah dari ‘Uqail bin Khalid bin ‘Aqil dari Muhammad bin Muslim bin Abdillah bin Ubaidillah bin Syihab Az-Zuhri dari Urwah bin Az-Zubair dari A’isyah radhiyallâhu'anha.

Imam Al-Hakim rahimahullâh berkomentar tentang hadits ini,
“Ibnu Lahi’ah seorang diri dalam meriwayatkannya.”
Syaikh Al-Albani rahimahullâh berkata,
”Dia (Ibnu Lahi’ah) perawi lemah dari sisi hafalannya. Namun Abdullah bin Wahb meriwayatkan hadits ini dari Ibnu Lahi’ah dari Khalid bin Yazid dari Ibnu Syihab dengan tambahan lafadz سِوَى تَكْبِيرَتَيْ الرُّ كُوْع (selain dua takbir ruku’).”
Hadits dengan lafadz tambahan ini dikeluarkan oleh:
  • Abu Dawud rahimahullâh dalam Sunan-nya 1/299 no. 1150,
  • Ibnu Majah rahimahullâh dalam Sunan-nya 1/407 no. 1280,
  • Ath-Thahawi rahimahullâh dalam Syarhu Ma’ani Al Atsar 2/399,
  • Ad-Daraquthni rahimahullâh dalam Sunan-nya no. 180,
  • Al-Baighaqi rahimahullâh dalam Sunan Al Kubra 3/287, dan
  • Ahmad bin Hambal rahimahullâh dalam Musnad-nya 6/70.

Ishaq bin Isa rahimahullâh dan Amru bin Khalid rahimahullâh juga meriwayatkan hadits ini bersama Abdullah bin Wahb dari Ibnu Lahi’ah.
Jalan periwayatan Ishaq bin ‘Isa rahimahullâh dikeluarkan oleh Ad-Daraquthni rahimahullâh 2/46 no. 180, dan Al-Hakim rahimahullâh dalam Mustadraknya 1/298. Adapun riwayat ‘Amru bin Khalid rahimahullâh dikeluarkan oleh:
  • Ad Daraquthni rahimahullâh 2/46 no 180,
  • Al-Hakim rahimahullâh dalam Mustadrak-nya 1/298, dan
  • Al-Baihaqi rahimahullâh dalam Sunan-nya 3/ 286.

Imam Ath-Thahawi rahimahullâh dalam Syarhu Ma’ani Al-Atsar 4/ 343-344 juga meriwayatkan hadits ini dari jalan Ibnu Lahi’ah dari Abul Aswad dari Urwah dari Abu Waqid Al Laitsi dan ‘Aisyah radhiyallâhu'anha, dengan lafadz:
hadist
Bahwa Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam mengimami shalat,
lalu bertakbir dalam shalat Iedul Fithri dan Adha.
Beliau takbir pada raka’at pertama tujuh kali dan membaca surat Qaf,
dan pada raka’at kedua lima kali dan membaca surat Al-Qomar.
Beliau (Imam Ath-Thahawi rahimahullâh) juga meriwayatkan hadits semisal ini dari jalan Ibnu Lahi’ah dari ‘Uqail dari Ibnu Syihab dari ‘Urwah dari ‘Aisyah radhiyallâhu'anha. Sedangkan Ath-Thabrani dalam Mu’jamul Ausath 3/270/3115 dan Ad-Daraquthni dalam Sunan-nya 2/46 meriwayatkan dari jalan Ibnu Lahi’ah secara tahdits (diriwayatkan dengan menggunakan lafazh haddatsa, Red) dari Yazid bin Abi Habib dan Yunus dari Ibnu Syihab dari ‘Urwah dari ‘Aisyah radhiyallâhu'anha dengan lafadz hadits:
hadist
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bertakbir dalam shalat Iedul Fithri dan Adha.
Pada raka’at pertama tujuh dan kedua lima kali sebelum membaca Al Fatihah.
Banyak riwayat yang berbeda-beda dari Ibnu Lahi’ah, sehingga Imam Ath-Thahawi rahimahullâh dan Ad-Daruquthni rahimahullâh melemahkannya, menganggapnya sebagai hadits muththorib.[2] Demikian juga imam Al-Bukhari rahimahullâh melemahkan hadits ini.[3]
Lalu, apakah pernyataan para ulama di atas mengharuskan lemahnya hadits ini?
Jawabnya, kita harus melihat kepada syarat iththirab yang mengharuskan pelemahan hadits, yaitu jalan periwayatannya sama kuat dan tidak mungkin dikompromikan (cara jam’a) dan ditarjih.
Dalam hadits ini syarat iththirab-nya tidak lengkap, karena jalan-jalan periwayatan yang ada sampai kepada Ibnu Lahi’ah tidak sama kekuatannya. Hal ini disebabkan adanya riwayat Abdullah bin Wahb darinya (Ibnu Lahi’ah). Riwayat Ibnu Wahb ini lebih didahulukan daripada yang lainnya, sebagaimana dinyatakan Imam Muhammad bin Yahya Adz Dzuhli,
”Menurut kami, yang rajih ialah hadits riwayat Khalid bin Yazid, karena Ibnu Wahb mendengarkan hadits Ibnu Lahi’ah terdahulu (sebelum hafalannya berubah rusak, pen). Barangsiapa yang mendengar darinya (Ibnu Lahi’ah) terdahulu, maka dia lebih diutamakan (untuk diterima), karena ia mukhthalath[4] pada akhir hidupnya.” pada akhir hidupnya.”[5]
Syaikh Al-Albani rahimahullâh berkata,
”Namun yang rajih menurut saya, ialah riwayat Ibnu Lahi’ah dari Khalid bin Yazid dari Ibnu Syihab. Karena ia merupakan riwayat Ibnu Wahb darinya (Ibnu Lahi’ah) dan riwayat itu shahih."
Abdulghani bin Sa’id Al-Adzdi berkata,
'Jika Al Abadilah meriwayatkan (hadits) dari Ibnu Lahi’ah, maka ia shahih. Al-Abadilah adalah Abdullah bin Al Mubarak, Ibnu Wahb dan Al Muqri'.
Hal ini juga disampaikan Imam As-Saji dan yang lainnya, sebagaimana dalam kitab Tahdzib At-Tahdzib.
Imam Baihaqi telah mengisyaratkan kepada tarjih kami, ketika memberikan komentar setelah menyampaikan riwayat ini.
Imam Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli menyatakan,
‘Inilah yang rajih, karena Ibnu Wahb mendengarkan hadits Ibnu Lahi’ah terdahulu,’
sehingga sanadnya shahih.
Imam Ad-Daraquthni secara jelas menyatakan tahdits dan ia mendengarnya dari Khalid bin Yazid. Wallahu a’lam.”[6]
Ada beberapa hadits lain yang semakna dengan hadits A’isyah radhiyallâhu'anha ini, yang mungkin menjadi penguat keabsahannya. Diantaranya:
1.
Hadits Amru bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya dari Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dengan lafadz:
hadist
Takbir dalam Iedul Fitri tujuh kali pada raka’at pertama,
dan lima kali dalam raka’at kedua sebelum membaca Al Qur’an.
Hadits ini dikeluarkan oleh:
  • Imam Abu Dawud 1/299 no.1151 dari jalan periwayatan Musaddad dari Abdullah bin Abdurrahman Ath-Thaifi dari Amru bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya, yaitu sahabat Abdullah bin Amru bin Al-Ash.
  • Imam Abdurrazaq Ash-Shan’ani dalam Al-Mushannaf no. 5677,
  • Ibnul Jarud dalam Al-Muntaqa no 269 (lihat Ghauts Al--Makdud 1/229),
  • Ad-Daruquthni dalam Sunan-nya 2/48, dan
  • Al-Baihaqi dalam Al Ma’rifah 3/37 no. 1894 meriwayatkan dari Abu Nu’aim dari Amru bin Syu’aib dengan lafadz:
hadist
Bahwa Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam
bertakbir dalam shalat Iedul Fithri tujuh kali pada raka’at pertama
dan lima kali pada raka’at terakhir, selain takbir shalat.

Abu Ishaq Al-Huwaini rahimahullâh menyatakan,
”Sanadnya baik, dan ini hadits yang shahih dengan syahid-syahidnya.”[7]
Kesimpulannya, semua hadits Amru bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya berkisar pada Abdullah bin Abdirrahman Ath-Thaifi, sehingga Imam Ath-Thahawi menyatakan,
”Hadits ini hanya berporos pada Abdullah bin Abdirrahman. Menurut mereka, riwayatnya tidak bisa dijadikan hujjah.”
Ibnu Hajar mengomentari,
”Abdullah bin Abdirrahman bin Ya’la bin Ka’b Ath Thaifi Abu Ya’la Ats Tsaqafi shaduq yukhti wa yahim.” [8]
Hadits Amru bin Syu’aib ini dishahihkan Imam Ahmad, Ali bin Al-Madini, Al-Bukhari, Al-Albani, Abu Ishaq Al-Huwaini dan Abul Hasan Al-Ma’ribi serta yang lainnya.
Setelah menyatakan, hadits ini dishahihkan Imam Ahmad, Ali dan Al-Bukhari dalam riwayat At Tirmidziy’, Syaik Al-Albani berkata,
”Mungkin ini karena syahid-syahidnya[9], diantaranya hadits A’isyah.”
Abu Ishaq Al Huwaini berkata,
”Abdullah bin Abdurrahman dilemahkan para ulama, namun mu’tabar[10].”[11]
Abul Hasan Al Ma’ribi berkata,
”Ibnu Rajab dalam Fathul Bari 9/85 menyatakan,
‘Harb bertanya kepada Ali bin Al Madini, apakah ada hadits shahih dari Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam (dalam hal jumlah takbir, pen.)?’
Dia menjawab,
’Hadits Amru bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya dari Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam,’
lalu menyatakan,
’Dan diriwayatkan dengan shahih dari Abu Hurairah secara mauquf.”[12]
Ahmad bin Hambal menyatakan,
’Saya berpendapat demikian’.”
Lalu Abul Hasan berkata lagi,
”Jika para imam tersebut telah menshahihkan hadits ini, mungkin karena Ath-Thaifi masih dipakai sebagai hujjah dalam periwayatannya secara mutlak, atau paling tidak dalam hadits ini saja. Inilah yang rajih. Atau dikatakan, bahwa perawi yang memiliki kelemahan dalam hafalannya jika jama’ah dari imam hadits meriwayatkan dan menulis satu hadits darinya dalam karya-karya mereka. Ditambah lagi, perawi tersebut meriwayatkan hadits tersebut dalam satu (lafadz atau makna) -walaupun banyak yang meriwayatkan darinya- dan tidak terjadi iththirab. Semua ini menunjukkan kekokohannya dalam hadits tersebut; karena perawi yang disifatkan memiliki kelemahan, tidak mustahil dapat baik menghafal sebagian haditsnya. Hadits ini (yaitu hadits Amru bin Syu’aib) telah memiliki indikator penguat ini, sehingga dishahihkan para ulama besar (hadits).”[13]
2.
Hadits Katsir bin Abdillah bin Amru bin ‘Auf dari bapaknya dari kakeknya dengan lafadz:
hadist
Bahwa Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam
bertakbir dalam shalat 'Iedain, pada raka’at pertama tujuh kali sebelum membaca,
dan di raka’at akhir lima kali sebelum membaca.

Hadits ini diriwayatkan oleh:
  • At Tirmidzi dalam Jami’- nya 2/416 no.536,
  • Ibnu Majah dalam Sunan-nya 1/407 no.1279 tanpa lafadz قَبْلَ الْقِرَاءَة ,
  • Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya 2/346 no.1438,
  • Abdu bin Humaid dalam Al Muntakhab no. 290. tanpa lafadz قَبْلَ الْقِرَاءَة ,
  • Ath Thahawi dalam Syarhu Ma’ani Al-Atsar,
  • Ibnu Qani’ dalam Mu’jamush Shahabat 2/198,
  • Ath Thabrani dalam Mu’jamul Kabir 17/14-15,
  • Ad-Daruquthni 2/48,
  • Ibnu Adi dalam Al Kamil-nya 6/2079, dan
  • Al Baihaqi dalam Sunan-nya 3/286.

Katsir bin Abdillah sangat lemah sekali, hingga Imam Syafi’i menyatakan,
”Ia salah satu rukun (tokoh) pendusta.”[14]
3.
Hadits Abdurrahman bin Sa’ad bin Amar bin Sa’ad dari bapaknya dari kakeknya dari buyutnya dengan lafadz:
hadist
Hadits ini dikeluarkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya 1/407 no.1277, Al Hakim dalam Mustadrak-nya 3/607, Ath Thabrani dalam Mu’jamu Shaghir 2/281 no.1173 dan Al Baihaqi dalam Sunannya 3/288. Pada sanadnya ada kelemahan dan iththirab. Jadi haditsnya lemah.
4. Hadits Abdullah bin Umar, dikeluarkan oleh Ath Thahawi 4/344. Pada sanadnya terdapat Al Faraj bin Fadhalah dan gurunya Abdullah bin ‘Amir. Keduanya perawi yang lemah.
5. Hadits Abu Musa dan Hudzaifah, dikeluarkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya 1/299 no.1153 dan Al Baihaqi dalam Sunan-nya 3/289-290. Dalam sanadnya terdapat Abdurrahman bin Tsabit dan Abu ‘Aisyah. Keduanya sangat lemah.

Kesimpulannya
, hadits tentang bilangan takbir shalat 'Ied ini shahih dengan banyaknya syahid yang menguatkannya. Ini bertambah kuat dengan amalan para sahabat, diantaranya:
1. Abu Hurairah, sebagaimana diriwayatkan oleh Nafi’ maula Ibnu Umar dengan lafadz:
hadist
Aku menyaksikan 'Iedul Adha dan Fithri bersama Abu Hurairah,
lalu beliau bertakbir pada rakaat pertama tujuh sebelum membaca
dan rakaat terakhir lima kali sebelum membaca Al Qur’an.
Atsar ini dikeluarkan oleh Imam Malik dalam Muwatha’ halaman 145 no. 464, Asy Syafi’i dalam Al Umm 1/395, Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya No. 5702 dan Abdurrazaq dalam Mushannafnya no.5680, 5681 dan 5682.
2. Abdullah bin Umar seperti atsarnya Abu Hurairah. Syaikh Al Albani menyatakan,
”Dikeluarkan oleh Ath Thahawi 2/399 dan sanadnya shahih.”[15]
3. Ibnu Abbas radhiyallâhu'anhu, sebagaimana diriwayatkan ‘Atha dengan lafadz:
hadist
Beliau bertakbir pada shalat dua hari raya.
Pada raka’at pertama tujuh kali dengan takbir pembuka,
dan pada raka’at terakhir enam kali dengan takbir raka’at semuanya,
sebelum membaca Al Fatihah (Al Qur’an).
(Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 5700 dengan sanad shahih,
sebagaimana dinyatakan Al Baihaqi dan Al Albani)

FAIDAH HADITS
Hadits ini menunjukkan beberapa tata cara shalat 'Ied yang dilakukan Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, diantaranya:
Pertama. Shalat 'Ied dilakukan dua raka’at. Hal ini juga ditunjukkan oleh hadits Umar bin Khathab yang berbunyi:
hadist
Shalat Adha dua rakaat, shalat Iedul Fitri dua raka’at,
shalat musafir dua raka’at, shalat Jum’at dua raka’at.
Ini sempurna tanpa di qashar (diringkas) menurut pernyataan Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam .
(Hadits ini dikeluarkan Imam Nasa’i dalam Sunan-nya 3/183 no. 1548;
Ibnu Majah dalam Sunan-nya no. 1054 ;
dan Ahmad dalam Musnadnya 1/37 no 248, dengan sanad shahih)
Kedua. Raka’at pertama shalat 'Ied dimulai dengan takbiratul ihram, lalu ditambah tujuh takbir. Sedangkan pada raka’at kedua dengan lima takbir ditambah takbir pindah. Ini semua tidak termasuk takbir ruku’nya.
Imam At Tirmidzi menyatakan,
”Sebagian ahli ilmu dari kalangan sahabat dan selain mereka mengamalkan hadits ini. Demikianlah diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa ia mengimami shalat di Madinah, sebagaimana shalat seperti ini. Demikian pendapat ahli (penduduk) Madinah dan juga pendapat Imam Malik bin Anas, Syafi’i, Ahmad dan Ishaq.”[16]
Bahkan Imam Al Baghawi rahimahullâh menyatakan,
”Demikian inilah pendapat kebanyakan para ulama dari kalangan para sahabat dan yang setelah mereka. Mereka berpendapat, bahwa takbir dalam shalat 'Ied pada raka’at yang pertama tujuh kali selain takbir pembuka (takbiratul ihram). Dan raka’at kedua lima kali selain takbir berdiri (dari raka’at pertama) sebelum membaca bacaan (Al Fatihah dan surat).”[17]
Ibnu Taimiyah rahimahullâh berkata,
”Adapun takbir dalam shalat 'Ied, maka makmum bertakbir mengikuti imam. Kebanyakan para sahabat dan para imam bertakbir tujuh kali pada raka’at pertama, dan lima kali pada raka’at yang kedua.”[18]
Dengan demikian, jelaslah kedudukan hadits ini dan amalan para ulama salaf dalam hal jumlah takbir shalat 'Ied. Semoga dapat menghilangkan keraguan sebagian pembaca, dan dapat memantapkan kita dalam mengamalkan Sunnah Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam.

Ditulis Oleh: Abu Asma Kholid Syamhudi

[1]
Takhrij ini merupakan hasil rangkuman dengan sedikit penambahan penulis dari referensi berikut ini:
  • Irwa’ Al-Ghalil Fi Takhrij Ahaditsi Manari As-Sabil, karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
  • Ghauts Al-Makdud Bi Takhrij Al-Muntaqa Libnil Jarud, karya Abu Ishaq Al-Huwaini.
  • Taqrib At-Tahdzib, karya Ibnu Hajar.
  • Tanwirul ‘Ainain Bi Ahkamil Adhahi Wal 'Iedain, karya Abul Hasan Al-Ma’ribi.
[2]
Hadits muththarib adalah hadits yang memiliki beberapa sisi periwayatan yang berbeda-beda dalam hal matan atau sanad dari seorang perawi atau lebih, jika riwayat-riwayat tersebut sama kuatnya dan tidak mungkin dirajihkan.

(Lihat Al-Baitsul Hadits Syarh Mukhtashar Ulumil Hadits, karya Syaikh Ahmad Syakir dengan ta’liq Syaikh Muhamad Nashirudin Al-Albani 1/221).
[3] Lihat kitab Al Ilal, karya At Tirmidzi 1/289.
[4] Ikhthalath dalam istilah ulama hadits, ialah berubahnya hafalan seorang perawi sehingga tidak dapat membedakan antara hadits yang dimilikinya dengan hadits orang lain, yang disebabkan usia tua atau kitab miliknya hilang dan lain-lainnya.
Imam As-Sakhawi rahimahullâh menyatakan,
”Hakikat Ikhthalat (menurut ulama hadits), yaitu rusak akal serta tidak terkontrolnya pernyataan dan perbuatan (yang) disebabkan ketuaan, kecelakaan, buta, sakit karena kematian anaknya, pencurian harta (seperti Al-Mas’udi) atau kehilangan bukunya (seperti Ibnu Lahi’ah) atau terbakar buku-bukunya (seperti Ibnu Al Mulaqqin).”
Lihat Fathul Mughits 3/366.
[5] Dinukil oleh Imam Baihaqi dalam Sunan-nya 3/287.
[6] Irwaul Ghalil 3/107-108.
[7] Ghauts Al-Makdud Bi Takhrij Al Muntaqa Libnil Jarud 1/229.
[8]
Termasuk tingkatan keempat bermakna shaduq (baik) dalam keadalahannya (kemampuannya menjaga ketaqwaan), bermakna orang baik dalam agamanya namun dalam riwayat kurang kuat hafalannya karena kekeliruan (yahim) dan kesalahan (yukhti) yang dimilikinya (Penulis). Lihat At- Taqrib, halaman 311.
[9]
Syahid adalah jalan periwayatan lain yang berbeda sahabat perawi haditsnya yang dapat menguatkan hadits tertentu (Penulis).
[10]
Mu’tabar, bermakna masih dapat dijadikan sandaran keabsahan walaupun memiliki kelemahan (Penulis).
[11]
Ghauts Al-Makdud Bi Takhrij Al-Muntaqa Libnil Jarud 1/229.
[12]
Mauquf, adalah sesuatu yang disandarkan kepada para sahabat baik berupa perkataan atau perbuatan.
[13]
Tanwirul ‘Ainain Bi Ahkamil Adhahi Wal 'Iedain halaman 159.
[14]
Irwaul Ghalil 3/109
[15]
Irwaul Ghalil 3/110.
[16]
Jami’ At Tirmidzi 2/417.
[17]
Diambil dari Ahkamul ‘Iedain karya Syaikh Ali bin Hasan Al Halabi yang menukil dari Syarhu Sunnah 4/309.
[18]
Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah 24/220.